1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengadilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara melaksanakan tugasnya ternyata sudah cukup banyak sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan oleh warga masyarakat untuk diperiksa, diputus dan diselesakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara betul-betul sangat diharapkan oleh warga masyarakat, sebagaimana suatu peradilan yang akan dapat memberikan perlindungan kepada mereka dari tindakan sewenang-wenang para penguasa.
Tetapi sangat disayangkan dari sekian banyak sengketa yag masuk, ternyata sedikit sekali yang memenuhi syarat untuk dapat diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini terutama disebabkan karena masih banyak warga masyarakat yang belum memahami betul mengenai fungsi, tugas dan wewenang, serta cara-cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud kompetensi peradilan tata usaha negara?
2. Apa macam-macam kompetensi peradilan tata usaha negara?
3. Apa yang dimaksud pembatasan-pembatasan dalam kompetensi peradilan tata usaha negara?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud kompetensi peradilan tata usaha negara.
2. Untuk mengetahui macam-macam kompetensi peradilan tata usaha negara.
3. Untuk mengetahui yang dimaksud pembatasan-pembatasan dalam kompetensi peradilan tata usaha negara.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah Kewenangan (Kekuasaan) Untuk menentukan (memutuskan sesuatu).1 Kompetensi dari satu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belaku. Sebagaiman diketahui bahwa berdasarkan jenisnya lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadiln tata usaha negara (pengadilan administari). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan pengadilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi (tingkatan tingkat banding), mahkamah agung (pengadilan tingkat kasasi).
Kedudukan jenis dan tigkatan dari pengadilan tersebut adalah pengadilan tingkat pertama berkedudukan di setiap kabupaten/ kotamadya (pemerintah daerah tingkat II), pengadilan tinggi (banding) berkedudukan di setiap provinsi (pemerintah daerah tingkat I), dan mahkamah aguang (kasasi) berkedudukan di ibu kota negara. Dengan demikian jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh jumlah pemerintah tingkat II (kabupaten/ kotamadya) yang ada, jumlah pengadilan tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan tingkat 1 (provinsi), sedangkan mahkamah agung (kasasi) hanya ada di ibu kota negara sebagai puncak dari semua lingkungan pengadilan yang ada. Namun. Pembentukan PTUN dan PTTUN ini dilakukan secara bertahap, karena memerlukan perencanaan dan persiapan yang sebaik-baiknya baik yang menyangkut masalah teknis maupun non teknis. Untuk itu dalam pasal 145 UU PTUN disebutkan bahwa UU PTUN ditunda pemberlakuannya selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkan. Maka untuk pertama kalinya dibentuklah PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang berdasarkan Keppres 52/1990, dan pembentukan PTTUN Jakarta, Medan dan Ujung Pandang berdasarkan Keppres 10/1990.2
Menurut pasal 47 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Balai Pustaka, 1994. 516. 2 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). 27.
3
Usaha Negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, adalah suatu penetapan tertulis, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 adalah lebih sempit bila dibandingkan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Thorbecke dan Buys.3 Menurut Thorbecke bilaman pokok sengketa( fundamentumpotendi) terletak di lapangan Hukum Publik sudah tentulah Hakim Administrasi yang berwenang memutuskannya. Sedangkan menurut Buys maka ukuran yang harus dipakai dalam menentukan berwenang atau tidaknya Hakim Administrasi Negara ialah pokok dalam perselihan (objectum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian. Jadi objectum litis adalah suatu hak privat, maka perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh Hakim biasa. Kompetensi sebagaimana dikemukakan oleh Buys ini lebih sempit bila dibandingkan dengan kompetensi Thorbecke. Menurut Buys walaupun pokok dalam perselisihannya (objectum litis) terletak di lapangan Hukum Publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah Hakim biasa atau Peradilan Umum. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 jauh lebih sempit lagi, karena tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan Hukum Publik (Hukum Tata Usaha Negara) dapat diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara haruslah memenuhi syarat-syarat:
1. Bersifat tertulis, hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Pengertian tertulis di sini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainan cukup tertulis asal saja:
3 Rozali Abdulah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1996). 20.
4
a. Jelas badan atau pejabat tata usaha yang mengeluarkannya.
b. Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban.
c. Jelas kepada siapa tulisan itu ditujukan.
Mengenai syarat tertulis ini ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
a) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara.
b) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolah mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
c) Dalam hal peraturan perundang-undang yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
2. Bersifat konkrit, artinya obyek yang diputus dalam keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan.
3. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negra itu tidak diajukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk orang-orang atau badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku umum.
4. Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya.4
Di samping itu menurut ketentuan pasal 49 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 Pengadilan tidak berwenang mengadili suatu sengketa Tata Usaha Negara, dalam hal keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan:
4 Ibid, 21.
5
1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam prakteknya alasan “dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum” bisa menimbulkan permasalahan, karena sampai sekarang sulit ditentukan batasan dan ukuran yang obyektif tentang “kepentingan umum”. Biasanya pengertian “kepentingan umum” itu selalu dilihat dari sudut kacamata penguasa, sehingga sering merugikan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu para Hakim pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dituntut harus berani menentukan sikap di dalam menentukan ada atau tidaknya suatu “kepentingan umum” berdasarkan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut bertugas memberikan perlindungan (pengayoman) kepada warga masyarakat pencari keadilan dari tindak sewenang-wenang para penguasa.5 Menurut pasal 2 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha angkatan bersenjata republik indonesia.
5 Ibid, 22.
6
7. Keputusan pantia pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Mengenai kompetensi ini ternyata undang-undang nomer 5 Tahun 1986 masih bersifat mendua. Karena masih memberikan kewenangan kepada badan-badan lain (peradilan semu) di luar pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara tertentu. Hal ini terlihat dari pasal 48 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, yang menyebutkan:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yan tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh upaya administratif telah diselesaikan.
Yang dimaksud upaya administratif di sini adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata, apabila ia merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan instansi yang bersangkutan.6 Upaya adminstratif tersebut terdiri dari:
1. Keberatan administratif diajukan kepada atasan Pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
2. Banding administratid dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, seperti Majelis Petimbangan Pajak, Badan Pertimbangan Kepegawaian, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Panitia Urusan Perumahan, DPRD bagi suatu Peraturan Daerah dan lain-lain.
Hal ini dapat diketahui dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Apakah peraturan perundang-undangan dimaksud memberi kemungkinan untuk menempuh suatu
6 Ibid, 23.
7
upaya administratif bagi penyelesaian suatu sengekta Tata Usaha Negara di bidang yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
1. Sengketa Kepegawaian sebagaimana diatu dalam pasal 15 ayat (2) dan 24 Peraturan Pemerintah Nomer 30 Tahun 1980.
2. Perselisahan perburuhan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomer 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisah perburuhan dan undang-undang Nomer 12 Tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan kerjja di perusahaan swasta.
3. Sengeketa perpajakan sebagaimana diatur dalam regeling van het beroep in belastingzaken jo Undang-undang Nomer 5 Tahun 1959 tentang perubahan regeling van het beroep in belastingzaken.
Untuk sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 48 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, yang berwenang memeriksa, memetuskan dan menyelesaikan pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut baru dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah menempuh semua upaya adminisraif yang dimungkinkan oleh peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar dibuatnya keputusan tata usaha negara yang bersangkutan. Seandainya para pihak masih mersa tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.7
B. Macam-Macam Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Ada beberapa untuk dapat mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara: pertama dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundanentum petendi),8 kedua, dengan melakukan pembedakan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht), ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relative.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi), apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum politik, maka sudah tentuyang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN). Cara ini
7 Ibid, 24. 8 E. Utrecht, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. (Surabaya: Tinta Mas, 1986). 252.
8
tampaknya sudah kurang memadai untuk menjelaskan secara lengkap kompetensi suatu pengadilan sebagaimana yang diuraikan diatas.
Pembagian kompetensi atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht) dapat dijelaskan sebagai berikut.9
1. Atribusi yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan:
- Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh pengadilan Administrasi terhadap pengadiilan Negeri (umum), pengadilan Agama atau pengadilan Militer.
- Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh pengadilan Negeri (umum) terhadap pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
2. Distribusi yang berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengnai wilayah hukum. Contoh antara pengadilan Negeri Bandung dengan pengadilan Negeri antara lain di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Pembagian yang lain adalah pembagian atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Sebagaimana umumnya dalam hukum acara, kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara. Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok perkara. Sedangkan kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan pemerintah yang “mengeluarkan Keputusan (Beschikking)”.
9 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2008). 29.
9
Sedangkan perbuatan pemerintah lainnya, yakni melakukan perbuatan materiil (materiele daad) dan mengeluarkan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kompentensi absolut PTUN adalah sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 4 UU Nomor 5 tahun 1986). Dalam pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa timbulnya sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Pengertian keputusan Tata Usaha Negara secara stipulatif dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 UU No 5 Tahun 1986 yang berbunyi: Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimblkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata.
Disamping itu masih termasuk ke dalam Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 3, yaitu dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya, sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Jangka waktu untuk ditentukan empat bulan sejak permohan diterima, jika peraturan perundang-undangan tidak menentukannya. Tetapi apabila jangka waktu untuk itu ditetapkan di dalam peraturan perundangan dasarnya, maka digunakan batas waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasar tersebut.10
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak yang sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu. Untuk pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pengaturannya terdapat dalam pasal 6
10 SF Marbun. Peradilan Tata Usaha Negara. (Yogyakarta: Liberty, 2003). 61.
10
dan pasal 54 UU No. 5 tahun 1986. Pasal 6 menentukan batas daerah hukum suatu pengadilan Tata Usaha Negara. Batas daerah hukum itu dibedakan atas tigas wilayah yang meliputi wilayah kotamadya, Kabupaten dan wilayah propinsi.11 Pasal 6 tersebut selengkapnya berbunyi:
a) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau Kabupaten.
b) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Propinsi dan daerah hukumannya meliputi wilayah propinsi.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat atau pihak Tergugat, diatur tersendiri di dalam pasal 54 yang berbunyi sebagai berikut:
a) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
b) Apibila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
d) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketan Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
e) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
f) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukannya Tergugat.
Bahwa oleh karena Pengadilan Tata Usaha Negar berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, maka dalam Undang-undang Nomor % tahun 1986 telah digariskan ketentuan-ketentuan yang menyatakan antara lain:
11 Ibid, 59.
11
Tempat kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, sehingga dengan kedudukan itu akan lebih mempermudah rakyat mencapainya.
Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamaannya untuk kemudian diteruskan ke Pengadilan yang berwenang mengadilinya.
Bahkan dalam hal-hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolut maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi yang jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 55 UU PTUN hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah atribusi dari Sjachran Basah itu sama dengan kompetensi absolut dan untuk istilah delegasi adalah sama dengan kompetensi relatif.
Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas, dalam Pasal 77 UU PTUN disebutkan:
a) Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
b) Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
c) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.
12
Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN, harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban atas pokok sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengeketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima.12
C. Pembatasan-Pembatasan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Suatu keputusan itu memenuhi unsur/ciri-ciri sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 3, tetapi oleh undang-undang dinyatakan tidak dapat dijadikan sebagai obyek sengketa Tata Usaha negara. Didalam UU No. 5 tahun 1986, beberapa pembatasan tersebut dimuat dalam penjelasan umum, pasal 2, pasal 48, pasal 49 dan pasal 142.
Oleh Sjachran Basah, pengelompokan pembatasan itu dibedakan menjadi dua golongan. Di samping itu masih dapat ditambahkan satu jenis pembatasan lagi, yakni pembatasan langsung yang bersifat sementara (eimnalig).13
1. Pembatasan Langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi Peradilan Tata Usaha negara untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam penjelasan umum, pasal 2 dan pasal 49 UU Nomor 4 Tahun 1986. Dan menurut Penjelasan Umum (angka 1) sengketa Administrasi di lingungan Angkatan Bersenjaa dan dalam soal-soal Militer yang menurut ketentuan Undang-undang nomor 16 tahun 1953 dan Undang-undang Nomor 19 tahun 1958, diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh pengadilan Tata Usaha Negara Militer.
2. Pembatasan Tidak Langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka kemunginan bagi Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat banding (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh. Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam pasal 48. Berdasarkan pembatasan tidak langsung ini, jika upaya administratif (administratif beroep) yang tersedia telah ditempuh dan ternyata pihak penggugat masih merasa dirugikan, maka gugatan dapat diajukan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Jadi jika admistratif beroep telah ditempuh, sengketa administratif itu langsung diajukan pada tingkat Pengadilan
12 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). 31. 13 SF Marbun. Peradilan Tata Usaha Negara. (Yogyakarta: Liberty, 2003). 62.
13
Tinggi Tata Usaha Negara. Ketentuan yang demikian terdapat di dalam pasal 51 ayat (3) yang berbunyi:
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pasal 48.
3. Pembatasan langsung bersifat sementara terdapat dalam Bab VI (peralihan) pasal 142 ayat (1). Pembatasan ini bersifat langsung, di mana tidak terbuka kemungkinan sama sekali bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya. Tapi hal ini hanya berlaku sementara dan satu kali (einmalig). Pembatasan langsung yang bersifat sementara kompetensi absolut Perdilan Tata Usaha Negara ini berlaku bagi sengketa Tata Usaha Negara yang sedang diadili oleh Peradilan Umum pada saat terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986. Pasal 142 ayat 1 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa “Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Umum.”
Dengan demikian kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara terbatas pada tindakan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara seperti ditentukan pasal 1 ayat 3 dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 2, 48, 49, 142 dan Penjalasan Umum). Tindakan-tindakan Tata Usaha Negara selain yang disebutkan dalam kompetensinya itu menjadi kompetensi peradilan lain. Tindakan dalam lapangan perdata atau tindakan pemerintah yang melanggar hukum (onrechtmatige) misalnya menjadi kompetensi Peradilan Umum.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kompetensi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah Kewenangan (Kekuasaan) Untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi dari satu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belaku.
Ada beberapa untuk dapat mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara: pertama dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundanentum petendi), kedua, dengan melakukan pembedakan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht), ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relative.
B. Saran
Dari sedikit yang kami paparkan diatas, pasti banyak sekali kekurangan. Itu karena kurangnya informasi yang kami peroleh. Maka dari itu, saran dan kritik yang konstruktif dari temen-temen mahasiswa begitu juga dari bapak dosen sangat kami butuhkan.Demi perkembangan dalam intelektual kita yang lebih baik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, SF.2003. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty.
Harahap, Zairin. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
-----------------. 1994. Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Balai Pustaka.
-----------------. 1986. Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. Surabaya: Tinta Mas.
Abdulah, Rozali. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kamis, 09 November 2017
Rabu, 08 November 2017
Hak Imunitas bertentangan dengan equality before the law
HAK
IMUNITAS
Jika kita berbicara hak imunitas maka kita akan
teringat oleh hak yang dimiliki para dewan rakyat. Hak ini berguna untuk para
dewan dalam melakukan tugas dan fungsinya meliputi dari hak untuk membicarakan
atau menyatakan secara tertulis segala hal di dalam lembaga tersebut tanpa
boleh dituntut di muka pengadilan. Di dalam sebua padangan lain hak imunitas
juga di artikan sebagai hak yang dimiliki kepala negara, anggota perwakilan
deplomatik untuk tidak tunduk akan hukum pidana, perdata dan administrasi
negara yang dilalui atau di tempat dia bekerja atau hak eksteritorial. Di dalam
hak imunitas yang di atur dalam undang-undang dasar hanya anggota dewan saja
yang memiliki hak ini, president tidak memiliki hak imunitas. Jika ingin lebih
jelas mengetahui hak imunitas ini ada di dalam UU NO 17 TAHUN 2014 pasal 196
ayat 1,2,3 dan 4. Bunyi dari pasalnya yaitu “Anggota DPR tidak dapat dituntut
di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya
baik secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR
yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. Jika kita meneliti
lebih lanjut dengan bunyi pasal yang berada pada hak imunitas anggota dewan,
maka kita akan menemukan suatu yang mengganjal di dalam bunyi pasal tersebut. Arti
dari pasal tersebut jika di maknai secara awam akan terlihat bahwa anggota
dewan seakan-akan memiliki yang namanya kebal hukum, yang harusnya yang kita
ketahui bahwa asas hukum berbunyi semua orang kedudukannya sama di atas hukum. Ada
beberapa point yang dapat menjadi bahan pertimbangan disini yaitu:
1. Hak
imunitas bertentangan dengan equality before the law atau persamaan di hadapan
hukum.pada dasarnya hukum menyatakan bahwa semua orang kedudukannya sama di
mata hukum dan meliputi semua lapisan dan tidak memandang status sosial. Dalam arti
ini saja adanya hak imunitas ini bertentangan dengan asas hukum ini,
seakan-akan adanya keistimewaan yang terlalu berlebihan di dalam hak seorang
dewan.
2. Hak
imunitas bertentangan dengan UUD 1945. Memang benar hak imunitas sudah diatur
di dalam UUD 1945 pada pasal 20 ayat 3 dan di jelaskan lebih lanjut dalam
undang-undang akan tetpai jika mencermati lebih lanjut maka hak imunitas ini
sesunggunya bertentangan dengan asas persamaan dihadapan hukum dan bertentangan
juga dengan UUD 1945 yaitu pada pasal 28J yang berbunyi ” Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hak imunitas bertentangan dengan UUD 1945. Point ketiga
yaitu adalah kah imunitas yang ada dalam uu no 17 tahun 2014 dan yang telah di
jelaskan dalam UUD1945 juga bertentangan dengan UUD 1945 dalam pasal 27 ayat 1
yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya..
dengan adanya bentrokan hukum di dalam hukum ini membuat seakan-akan
undang-undang ini memang sangat kental dengan hukum produk politik.
Dapat kita simpulkan bahwa hak imunitas bertentangan
dengan asas hukum, UUD 1945 pasal 28J
dan pasal 27 ayat 1 maka dari itu harus adanya perubahan kalimat di dalam hak
imunitas itu sendiri, jika tetap seperti semula maka hak imunitas ini melanggar
hukum.
Dapat
penulis sampaikan bahwa ada beberapa cara untuk memperjelas mengenai maksud hak
imunitas ini yaitu:
1. jika memang hak imunitas ini tetap seperti
awalnya maka harus ada tambahan pada pasal mengenai hak imunitas, maksudnya
ialah tambahan ayat yang menjelaskan tentang aturan pidana bagi anggota dewan
yang melanggar ketentuan bunyi pasal hak imunitas ayat 2, yaitu contohnya
anggota dewan dilarang memberikan pendapat,pertanyaan dan pernyataan di publik
yang bukan dalam fungsi dan kewenangannya, contohnya tentang pernyataan viktor
kemarin yang dianggap membawa isu sara dalam pernyataannya. Hal ini lah yang di
khawatirkan jika anggota dewan melakukan pernyataan di publik.
2. Mengajukan
ke anggota MPR tentang ketidak selarasannya antara bunyi pasal di dalam UUD1945
yang saling bersebrangan. Dengan adanya bunyi pasal tentang hak imunitas di
dalam UUD1945 ini sangat bersebrangan dengan asas persamaan dihadapan hukum,
UUD1945 pasal 27 ayat 1 dan pasal 28J maka dari itu mungkin dibutuhkan
perubahan UUD1945 yang terbaru lagi saat ini.
Jika berbicara hukum maka pasti akan berbicara
politik, karna hukum dan politik adalah suatu garis lurus yang sama yang
keduanya jika dilihat dari sisi yang berbeda bisa di simpulkan hukum lebih
determinan terhadap politik atau politik determinan terhadap hukum. Adapun sangkut
paut dalam pembahasan diatas yaitu jika di katakan dari kaca mata penulis maka
dapat di simpulkan pada saat kini bahwa hukum adalah prodak politik.
sosiologi hukum (hukum dan perilaku masyarakat)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah segala bentuk peraturan
yang pasti ada dan akan selalu ada, sselama masih ada kehidupan di masyarakat,
dan selama masih terjadi hubungan dan antar manusia baik dalam lingkup desa
sampai yang cangkupannya luas yaitu negara bahkan mencangkup hubungan
Internasional.
Tak terkecuali di negara Indonesia,
negara yang terkenal dengan pembuatan Undang-undangnya, hukum di Indonesia pun
beragam, hukum di Indonesia hampir setiap aspek dalam kehidupan sudah terdapat
peraturan undang-undang yang berisi aturan beserta sanksi bagi yang melanggar.
Di dalam makalah kali ini akan dibahas
mengenai bagaimana hukum berperan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah
perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka
rumusan masalah yang dapat diambil pemakalah adalah sebagai berikut:
1.
Apa Definisi
Hukum.?
2.
Bagaimana
Hukum bisa dikatakan sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat.?
3.
Bagaimana
Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum.?
4.
Bagaimana
Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat.?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka
tujuan yang dapat diambil pemakalah adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui Istilah Hukum.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana Hukum bisa dikatakan sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan
Masyarakat.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum
1. Hukum
kata hukum berasal dari bahasa arab
dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selannjutnya
diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung
pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.[1]
2. Recht
Recht berasal dari kata “Rectum” (bahasa
latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan, atau pemerintahan.
Berhubungan dengan Rectum dikenal
dengan kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan
atau memerintah. Rex juga dapat diartikan “Raja” yang mempunyai “Regimen”
yang artinya kerajaan.
Kata Rectum dapat juga
berhubungan dengan kata “Directum” yang artinya orang yang mempunyai
pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Kata-kata Directur atau Rector mempunyai
arti yang sama.
Kata “Recht” atau bimbingan
atau Pemerintah selalu didukung oleh kewibawaan. Seorang yang membimbing,
memerintah harus mmepunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat
dengan ketaatan, sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh
orang lain. Dengan demikian kata Recht mengandung pengertian kewibawaan
dan hukum atau Recht itu ditaati orang yang sukarela.
Dari kata Recht tersebut timbul juga
istilah “Gerechtigdheid” ini adalah bahasa Belanda atau “gerechtigkeit”
dalam bahasa Jerman yang berarti keadilan, sehingga hukum juga mempunyai
hubungan erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian Recht dapat diartikan hukum
yang mempunyai dua unsure penting yaitu “kewibawaan dan keadilan”.
3. Ius
Kata Ius (Latin) berarti hukum,
berasal dari kata “Lubere” artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur
dan memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada kewibawaan.
Selanjutnya istilah Ius bertalian
erat dengan “Iustitia” atau keadilan. Pada zaman dulu bagi orang Yunani
Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan
kedua matanya tertutup dengan tangan kirnya memegang neraca dan tangan kanannya
memegang sebuah pedang. Adapun lambing tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
a.
Kedua
mata tertutup. Ini berarti
bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan antara si pelaku. Apakah
ia kaya,miskin, mempu[2]nyai
kedudukan tinggi atau rendah. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa di dalam
mencari keadilan tidak boleh pandang bulu.
b.
Neraca. Ini melambangkan keadilan. Dalam mencari dan menerapkan keadilan
harus ada kesamaan atau sama beratnya.
c.
Pedang. Yaitu lambing dari keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu
hukum dan dimana perlu dengan hukum mati.
Jadi dari segi Etimologi dapat
disimpulkan bahwa Ius yang berarti hukum berhubungan erat dengan keadilan
(Iustitia) yang mempunyai tiga unsur : wibawa, keadilan, dan tata kedamaian.
4. Lex
Kata Lex berasal dari bahasa latin
dan berasal dari kata “Lesere”. Yang artinya mengumpulkan orang-orang
untuk diberi perintah. Jadi disini terkandung pula adanya hukum ialah wibawa
atau otoritas, sehingga Lex yang berarti hukum sangat erat hubungannya
dengan perintah dan wibawa. Berdasarkan uraian diatas dan sehubunnngan denga
arti kata hukum maka dapat disimpulkan bahwa:
a)
Pengertian
hukum itu bertalian erat dengan keadilan.
b)
Pengertian
hukum itu bertalian dengan kewibawaan.
c)
Pengertian
hukum itu bertalian erat dengan ketaatan/ orde yang selanjutnya amenimbulkan
kedamaian.
d)
Pengertian
hukum itu bertalian erat dengan peraturan dalam arti Peraturan yang berisi
norma.[3]
B. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat
Sebagai sarana social engineering,
hukum merupakan sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga
masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah
satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang
dinamakan sudahditerapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu
akan muncul apabila ada factor-faktor tertentu yang menjadi halangan.
Factor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para
pencari keadilan (justiciabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam
masyarakat. Factor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena
merupakank suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang
dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Kalau hukum merupakan sarana yang
dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya
berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang
mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di
dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur
keperikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian
tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk
dipergunakan.
Suatu contoh dari uraian diatas
adalah, misalnya perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hukum
benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum tadi
harus di sebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya
alat- alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran
serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara
formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi.
Disamping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya, inilah
yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dinamakan
difusi, yaitu penyebaran dari unsure-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Proses difusi tersebut, antara lain
dapat dipengaruhi oleh:
a.
Pengakuan,
bahwa unsure kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum) mempunyai
kegunaan.
b.
Ada
tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan
pengaruh negatif ataupun positif.
c.
Sebagai
suatu unsure yang baru maka hukum tadi mungkin akan[4]
ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsure lama.
d.
Kedudukan
dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektivitas
hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan masyarakat.
Inilah yang merupakan salah satu
batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah
perikelakuan. Dengan kata lain, masalah yang bersangkut-paut dengan tata cara
komunikasi itulahh yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Untuk dapat
mengidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan hukum
sebagai sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan perihal struktur
penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk mengadakan social
engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan perikelakuan, dan
sebagainya.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa
masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam
kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa
yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan,
dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui
batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita, sebaliknya kalau dia tetap
berada di dalam batas-batas tertentu pula. inilah yang kesemuanya terkait pada
kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan berkelompok.
Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan
pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan
kelompok-kelompok sosial.[5]
Apakah yang akan dipilih oleh
pribadi-pribadi atau kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis,
dan sosial. Di dalam suatu masyarakat dimana interaksi sosial menjadi intinya,
maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang
sangat menentukan. Misalnya, apabila seorang petani sangat memerlukan kredit
untuk usaha taninya, sedangkan di dalam lingkungannya hanya ada kreditu-kreditur
yang menetapkan bunga yang sangat tinggi, maka pilihannya hanya terbatas antara
pinjaman uang dengan bunga yang tinggi dann meneruskan usaha taninya, atau
berhenti bertani. Akan tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada
kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama, secara
berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi
tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada
posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Kecuali daripada itu,
maka peranannya juga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak
lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga oleh
pihak-pihak yang mengawasi dan memberikank reaksi terhadap peranannya, maupun
kemampuan-kemampuan serta kepribadian manusia pribadi yang berperan (role-performance).[6]
Apbila uraian tersebut di telaah
dengan seksama, maka kaidah merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana
yang diharapkan. Individu-individu yang memilih melakukan hal itu, dikarenakan
dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak
lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Hal
itulah yang akan menhubungkan individu tersebut dengan dunia dan masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan
mengapa seseorang menentukank pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula
dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau
tidak harus dilakukan) maupun anggapan-anggapan tentang tentang apa yang harus
dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normatife yang
terdapat dalam diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi yang ada
di dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melalui
perubahan-perubahan yang terencana.
Yang dimaksud dengan peranan adalah
suatus sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perikelakuan, pada
kedudukank-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana yang dipunyai
pribadi maupun kelompok-kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan dinamakan
sebagai pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah
berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan
apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah hukum. Konsepsi-konsepsi sosiologi tersebut
di atas, mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hukum, apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa hukum. Peranan peran adalah subyek hukum, sedangkan peranan
merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan
hukum.[7]
Dengan demikian, maka masalah
utamanya adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum akan dapat mengatur kepentingan
pemegang-pemegang peranan tersebut.
Tentang hal tersebut, Hans Kelsen
pernah mengemukakan sebagai berikut:
”… the legal norm does not, like the
moral norm, refer to the behavior of one individuals at least, the individual
who commits or may commit the delict, the delinquent, and the individual who
ought to execute the sanction.”
Artinya, suatu kaidah hukum yang
berisikan larangan atau suuhan atau kebolehan bagi subyek hukum, sekaligus
merupakan kaidah hukum bagi penegak hukum untuk melakukank tindakan terhadap
pelanggar-pelanggarnya. Kaidah hukum yang pertama disebutknya adalah kaidah
hukum sekunder, sedangkan yang kedua kaidah hukum primer. Kaidah hukum sekunder
hanya merupakan gejala lanjutan dari kaidah hukum primer. Model ini sedikit
banyak menunjukkan bagaimana kaidah hukum mempengaruhi perikelakuan. Hal ini
disebabkan, karena pemegang peranan menentukan pilihan terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum
dan penegak-penegak hukum merupakan salah satu batas untuk melakukan pilihan
tersebut. Proses tadi berjalan dengan cara:
a.
Penetapan
kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan.
b.
Perumusan
tugas-tugas penegak hukum untuk melakukank tindakan-tindakan positif atau
negative, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah hukum.
Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan
untuk mengubah dan mengatur perikelakuan dapat dilakukan dengan cara-cara:
a.
Melakukan
imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun
melanggar kaidah-kaidah hukum.
b.
Merumuskan
tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai
dengan serasi atau tidaknya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah-kaidah
hukum.
c.
Mengubah
perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuank pemegang
peranan yang mengadakan interaksi.
d.
Mengusahakan
perubahan para persepsi, sikap dan nilai-nilai pemegang peranan.
Dengan model tersebut, setidaknya
dapat diidentifikasikan maslah-masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya
sistem kaidah-kaidah hukum tertentu di dalam mengubah atau mengatur
petunjuk-petunjuk, di manakalah kelemahan-kelmahan penerapan hukum itu ada.
Misalnya, mengapa suatu perundang-undangan lalu lintas darat todak begitu
efektif di dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mungkin masalahnya
terletak pada perundang-undangan lalu lintas darat tersebut tidak begitu
efektif di dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mugkin masalahnya
terletak pada perundang-undangannya sendiri yang terlalu abstrak atau terlalu
rumit, atau juga mungkin pada para penegak hukum, atau warga masyarakat
sendiri, dan mungkin pada fasilitas pendukungnya.
Oleh karena itu, membentuk hukum
yang efektif memang memerlukan waktu yang lama. Hal itu disebabkan, antara lain
karena daya cangkupnya yang sedemikian luas, lagi pula hukum itu harus dapat
menjangkau jauh ke muka, sehingga memerlukan pendekatan yang multi disipliner.
Bahkan kadang-kadang, suatu hukum perlu dicoba terlebih dahulu, karena justru
melalui percobaan tadi akan dapat diketahui kelemahan-kelemanan dan batas-batas
jangkaunya di dalam mengubah atau mengatur perikelakuan masyarakat. Hukum
merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproes di dalam dan untuk
kepentingan masyarakata. Oleh karena itu, hanya warga masyarakat yang dapat
menentukan luas daya cangkup hukum maupun batas kegunaannya.
C. Perubahan Dalam
Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum
Bila membicarakan perubahan dalam
masyarakat dan pencapaian tujuan hukum, berarti mengkaji perubahan kehidupan
sosial dalam, masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum
dalam pencapaian tujuannya. Oleh karena itu, objek pembahasan berfokus An
Engineering Interpretation atau
interpretasi terhadap adanya perubahan norma hukum sehingga fungsi hukum
sebagai social control dan social engineering dapat terwujud.
1. Konsep Dasar an Engineering
Interpretation
a. Interpretation
interpretation adalah usaha untuk
menggali, menemukan, dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan
dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu
sendiri, yaitu “keadilan.
Bila melakukan suatu pendekatan
dalam mengamati fenomena sosial dalam masyarakat, yang kemudian hasill
pengamatan itu digunakan untuk memecahkan hukum yang meliputi penggalian,
penyusunan, pemeliharaan, dan penegakkan hukum), maka dapat disebut tercapai
tujuan interpretasi.[8]
b. Engineering
Engineering adalah
perubahan-perubahan norma dan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat seiring
dengan terjadinya perubahan (perkembangan) kebudayaan dalam masyarakat itu
sendiri.
c. An Engineering Interpretation
Dalam pemikiran yang dijadikan tolak
ukur untuk memberi pengertian an engineering interpretation of Legal History
yang disusun oleh Roscoe Pound. Pengertian dimaksud adalah usaha-usaha yang
dilakukan oleh kalangan pemikir hukum untuk menemukan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, untuk selanjutnya nilai-nilai
dimaksud diadaptasikan oleh para legislator dan praktisi hukum dalam
menyelesaikan dan mengambil kebijakan terhadap konflik yang tejadi di
tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada tercapainya cita-cita dan tujuan
hukum itu sendiri.
D. Pembudayaan
Hukum dalam Masyarakat
Apabila ditinjau dari sudut
fungsinya, maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial,
sarana untuk mengadakan pebaharuan dan juga sebagai sarana untuk memperlancar
proses interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction).
Mana yang lebih utama senantiasa tergantung pada bidang kehidupan yang
dipermasalahkan, sehingga seringkali ketiga fungsi tersebut berkaitan erat.
Dalam fungsinya tersebut, maka hukum
diharapkan akan dapat menciptakan harapan timbal -balik yang serasi (shared
reciprocal expectation) anatara warga-warga masyarakat dan juga dengan
norma-norma yang mengaturnya. Implikasinya adalah suatu keserasian dalam
hubungan antara “role occupant”,
“role expectation”, dan “role performance” di dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Apabila perhatian ditujukan pada
fungsi hukum untuk memperlancar proses interaksi sosial, maka hal itu berkaitan
erat dengan masalah apakah orientasi pembentukan hukum tertuju pada pribadi (person
orientation). Perbedaan tersebut mungkin bersifat akademis, akan tetapi
akan dapat mempermudah usaha untuk mengadakan analisis terhadap masalah
pembudayaan hukum dalam masyarakat. Pada hukum yang diletakkan pada pribadi,
akan timbul masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana
sikap dan perikelakuan seseorang. ?
b.
Apakah
kemampuan-kemapuannya dan dimanakah batas-batas kemampuan-kemapuan tersebut. ?
c.
Bagaimanakah
pandangan hidupnya dan pandangannya tentang pola-pola interaksi sosial.?[9]
Pada pembentukan hukum, orientasinya
tertuju pada perbuatan, maka fokus utamanya adalah apakah yang terjadi di dalam
kenyataannya. Untuk lebih menyederhanakan masalah, maka hal tersebut diatas
sebaiknya dihubungkan dengan pola-pola interaksi sosial di masyarakat, yang
menurut Arnold M. Rose dapat di golongkan ke dalam:
1.
Pola
“tradisional integrated group” yang terjadi apabila warga-warga
masyarakat berperikelakuan terhadap warga-warga lainnya atas dasar
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sama sebagaimana diajarkan oleh warga-warga
masyarat.
2.
Pola
“audience”, yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian-pengertian
sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
3.
Pola
“crowd” yakni interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan
keadaan-keadaan fisiologis yang sama.
Hukum akan memperlancar proses
interaksi pada masyarakat dengan pola “traditional integrated group”,
apabila hukum yang berlaku bukan merupakan hal yang baru, akan tetapi sudah
merupakan unsure yang melembaga dalam masyarakat. Kalau diintrodusir suatu struktur
atau sistem hukum yang baru, kalau biasanya masyararkat mempunyai pola
interaksi “audience” atau “public”. Oleh karena itu, sangatlah
penting kedudukan dari para plopor kebudayaan hukum maupun cara-cara dan
alat-alat komunikasi yang dipergunakan. Keadaan akan bertambah sulit apabila
hukum baru yang diintrodusir dimaksudkan untuk mengubah nilai-nilai yang
berlaku, oleh karena pada dasarnya semua pola interaksi dapat dikembalikan pada
pola “trasditional integrated group” sekalipun dalam masyarakat pramodern
maupun modern.
Warga masyarakat pada umumnya
cenderung untuk bertingkah laku menurut suatu keranka atau pola perikelakuan
yang sudah membudaya, dan di dalam konteks ini mungkin timbul perikelakuan yang
dikualifisir sebagai perbuatan yang melanggar[10]
hukum. Biasanya warga masyarakat berperikelakuan menurut sistem normatif yang
diplajarinya di dalam kerangka sosial dan budaya. oleh karena bukan kualitas
perikelakuan yang dinilai akan tetapi perbutan-perbuatan yang berlawanan dengan
perikelakuan tersebut yang dianggap melanggar hukum, maka apa yang dirumuskan
sebagai perbuatan melanggar hukum adalah relatif. Konsekuensinya adalah bahwa
warga-warga masyarakat yang tidak ikut serta merumuskan perbuatan-perbuatan
melanggar hukum, pola perikelakuannya lebih mudah untuk di kualifisir sebagai
perbuatan melanggar hukum. Apabila pola-pola aksi tersebut bersifat melanggar
hukum atau tidak, antara lain tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
a.
Struktur
kesempatan di dalam masyarakat
b.
Pengalaman
belajar
c.
Identifikasi
tehadap pihak-pihak lain
d.
Konsepsi
diri.
Munculnya kesadaran hukum di dorong
sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, yang didasari oleh
(introtrination, habituation, utility dan group identification. Proses itu
terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. kadar internalisasi inilah
yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas
persoalan penegakan hukum.
Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa terdapat empat indicator kesadaran hukum yang
masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan brikutnya, yaitu:
a)
Pengetahuan
hukum
b)
Sikap
hukum
c)
Pola
prilaku hukum
Adapun indikator yang mempengaruhi penegakkan hukum, yaitu sebagai
berikut:
a)
Faktor
hukumnya sendiri (UU)
b)
Faktor
penegak hukum
c)
Faktor
sarana/ fasilitas
d)
Faktor
kesadaran hukum masyarakat
e)
Faktor
kebudayaan.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Selama perubahan hukum dilakukan
secara resfonsif dan mengikuti irama hukum yang hidup di dalam masyarakat, maka
hukum akan selalu selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh
dari masyarakat, dan jika hal tersebut dilakukan maka hukum seperti benda
asing.
Perubahan dalam diri hukum ini,
sesungguhnya berfungsi menejembatani keinginan-keinginan manusia yang agar
tidak timbul perilaku yang anarkis, destruktif, dan sebagainya yang sangat
melelahkan masyarakat kita, terutama masyarakat kelas bawah atau grass root.
Apa yang kita inginkan dari suatu perubahan adalah pemulihan pada keadaan yang
lebih baik dan bukan sebaliknya. Secara natural pula maka perubahan yang kita
inginkan bukan pada hasil yang secepatnya, seperti membalik telapak tangan.
Perubahan yang terjadi pada hukum adalah persoalan kemasyarakatan, persoalan
sosiologis, yang tidak dapat steril dari kekuasaan politik, keinginan pribadi,
faktor ekonomi dan sebagainya.
Untuk mencapaiak tujuan mulia si atas, maka hukum memerankan
dirinya sebagai kendali sosial, yang sekaligus merupakan tujuan pembentukan
hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini, maka aspek ketertiban,
ketentraman, maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.[12]
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu
Hukum, Ed. 1, Cet. 15. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).
Prof.
Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
Prof.
Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan
Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991).
Dr.
Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Refika
Aditama).
[1] R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 1, Cet. 15.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 25.
[3] Ibid, Hlm. 26.
[4]
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 136.
[5] Ibid, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Ibid,
hlm. 139.
[8] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), Hlm. 41.
[9] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi
Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm.
136.
[10] Ibid, hlm. 137.
[11] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 106.
[12] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 27.
[1] R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 1, Cet. 15.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 25.
[3] Ibid, Hlm. 26.
[4]
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 136.
[5] Ibid, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Ibid,
hlm. 139.
[8] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), Hlm. 41.
[9] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi
Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm.
136.
[10] Ibid, hlm. 137.
[11] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 106.
[12] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 27.
Langganan:
Postingan (Atom)
Pengertian produksi dalam Islam
A. P engertian Produksi Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi,dalam kegiatan ekonomi tidak akan pernah ada kegiatan kon...
-
makalah ini ditunjukan untuk memenuhi mata kuliah hukum acara perdata Bapak Qoi’dud duwal SH.i “KEWENANGAN DALAM SURAT KUASA” ...
-
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara melaksanakan tugasnya ternyata sudah cukup banyak ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah segala bentuk peraturan yang pasti ada dan akan selalu ada, sselama masih ada k...