Kamis, 09 November 2017

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengadilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara melaksanakan tugasnya ternyata sudah cukup banyak sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan oleh warga masyarakat untuk diperiksa, diputus dan diselesakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara betul-betul sangat diharapkan oleh warga masyarakat, sebagaimana suatu peradilan yang akan dapat memberikan perlindungan kepada mereka dari tindakan sewenang-wenang para penguasa.
Tetapi sangat disayangkan dari sekian banyak sengketa yag masuk, ternyata sedikit sekali yang memenuhi syarat untuk dapat diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini terutama disebabkan karena masih banyak warga masyarakat yang belum memahami betul mengenai fungsi, tugas dan wewenang, serta cara-cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud kompetensi peradilan tata usaha negara?
2. Apa macam-macam kompetensi peradilan tata usaha negara?
3. Apa yang dimaksud pembatasan-pembatasan dalam kompetensi peradilan tata usaha negara?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud kompetensi peradilan tata usaha negara.
2. Untuk mengetahui macam-macam kompetensi peradilan tata usaha negara.
3. Untuk mengetahui yang dimaksud pembatasan-pembatasan dalam kompetensi peradilan tata usaha negara.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah Kewenangan (Kekuasaan) Untuk menentukan (memutuskan sesuatu).1 Kompetensi dari satu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belaku. Sebagaiman diketahui bahwa berdasarkan jenisnya lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadiln tata usaha negara (pengadilan administari). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan pengadilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi (tingkatan tingkat banding), mahkamah agung (pengadilan tingkat kasasi).
Kedudukan jenis dan tigkatan dari pengadilan tersebut adalah pengadilan tingkat pertama berkedudukan di setiap kabupaten/ kotamadya (pemerintah daerah tingkat II), pengadilan tinggi (banding) berkedudukan di setiap provinsi (pemerintah daerah tingkat I), dan mahkamah aguang (kasasi) berkedudukan di ibu kota negara. Dengan demikian jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh jumlah pemerintah tingkat II (kabupaten/ kotamadya) yang ada, jumlah pengadilan tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan tingkat 1 (provinsi), sedangkan mahkamah agung (kasasi) hanya ada di ibu kota negara sebagai puncak dari semua lingkungan pengadilan yang ada. Namun. Pembentukan PTUN dan PTTUN ini dilakukan secara bertahap, karena memerlukan perencanaan dan persiapan yang sebaik-baiknya baik yang menyangkut masalah teknis maupun non teknis. Untuk itu dalam pasal 145 UU PTUN disebutkan bahwa UU PTUN ditunda pemberlakuannya selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkan. Maka untuk pertama kalinya dibentuklah PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang berdasarkan Keppres 52/1990, dan pembentukan PTTUN Jakarta, Medan dan Ujung Pandang berdasarkan Keppres 10/1990.2
Menurut pasal 47 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Balai Pustaka, 1994. 516. 2 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). 27.
3
Usaha Negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, adalah suatu penetapan tertulis, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 adalah lebih sempit bila dibandingkan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Thorbecke dan Buys.3 Menurut Thorbecke bilaman pokok sengketa( fundamentumpotendi) terletak di lapangan Hukum Publik sudah tentulah Hakim Administrasi yang berwenang memutuskannya. Sedangkan menurut Buys maka ukuran yang harus dipakai dalam menentukan berwenang atau tidaknya Hakim Administrasi Negara ialah pokok dalam perselihan (objectum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian. Jadi objectum litis adalah suatu hak privat, maka perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh Hakim biasa. Kompetensi sebagaimana dikemukakan oleh Buys ini lebih sempit bila dibandingkan dengan kompetensi Thorbecke. Menurut Buys walaupun pokok dalam perselisihannya (objectum litis) terletak di lapangan Hukum Publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah Hakim biasa atau Peradilan Umum. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 jauh lebih sempit lagi, karena tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan Hukum Publik (Hukum Tata Usaha Negara) dapat diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara haruslah memenuhi syarat-syarat:
1. Bersifat tertulis, hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Pengertian tertulis di sini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainan cukup tertulis asal saja:
3 Rozali Abdulah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1996). 20.
4
a. Jelas badan atau pejabat tata usaha yang mengeluarkannya.
b. Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban.
c. Jelas kepada siapa tulisan itu ditujukan.
Mengenai syarat tertulis ini ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
a) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara.
b) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolah mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
c) Dalam hal peraturan perundang-undang yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
2. Bersifat konkrit, artinya obyek yang diputus dalam keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan.
3. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negra itu tidak diajukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk orang-orang atau badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku umum.
4. Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya.4
Di samping itu menurut ketentuan pasal 49 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986 Pengadilan tidak berwenang mengadili suatu sengketa Tata Usaha Negara, dalam hal keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan:
4 Ibid, 21.
5
1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam prakteknya alasan “dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum” bisa menimbulkan permasalahan, karena sampai sekarang sulit ditentukan batasan dan ukuran yang obyektif tentang “kepentingan umum”. Biasanya pengertian “kepentingan umum” itu selalu dilihat dari sudut kacamata penguasa, sehingga sering merugikan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu para Hakim pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dituntut harus berani menentukan sikap di dalam menentukan ada atau tidaknya suatu “kepentingan umum” berdasarkan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut bertugas memberikan perlindungan (pengayoman) kepada warga masyarakat pencari keadilan dari tindak sewenang-wenang para penguasa.5 Menurut pasal 2 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, ada beberapa keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha angkatan bersenjata republik indonesia.
5 Ibid, 22.
6
7. Keputusan pantia pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Mengenai kompetensi ini ternyata undang-undang nomer 5 Tahun 1986 masih bersifat mendua. Karena masih memberikan kewenangan kepada badan-badan lain (peradilan semu) di luar pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara tertentu. Hal ini terlihat dari pasal 48 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, yang menyebutkan:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yan tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh upaya administratif telah diselesaikan.
Yang dimaksud upaya administratif di sini adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata, apabila ia merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan instansi yang bersangkutan.6 Upaya adminstratif tersebut terdiri dari:
1. Keberatan administratif diajukan kepada atasan Pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
2. Banding administratid dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, seperti Majelis Petimbangan Pajak, Badan Pertimbangan Kepegawaian, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Panitia Urusan Perumahan, DPRD bagi suatu Peraturan Daerah dan lain-lain.
Hal ini dapat diketahui dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Apakah peraturan perundang-undangan dimaksud memberi kemungkinan untuk menempuh suatu
6 Ibid, 23.
7
upaya administratif bagi penyelesaian suatu sengekta Tata Usaha Negara di bidang yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan:
1. Sengketa Kepegawaian sebagaimana diatu dalam pasal 15 ayat (2) dan 24 Peraturan Pemerintah Nomer 30 Tahun 1980.
2. Perselisahan perburuhan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomer 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisah perburuhan dan undang-undang Nomer 12 Tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan kerjja di perusahaan swasta.
3. Sengeketa perpajakan sebagaimana diatur dalam regeling van het beroep in belastingzaken jo Undang-undang Nomer 5 Tahun 1959 tentang perubahan regeling van het beroep in belastingzaken.
Untuk sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 48 Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986, yang berwenang memeriksa, memetuskan dan menyelesaikan pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut baru dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah menempuh semua upaya adminisraif yang dimungkinkan oleh peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar dibuatnya keputusan tata usaha negara yang bersangkutan. Seandainya para pihak masih mersa tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.7
B. Macam-Macam Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Ada beberapa untuk dapat mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara: pertama dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundanentum petendi),8 kedua, dengan melakukan pembedakan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht), ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relative.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi), apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum politik, maka sudah tentuyang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN). Cara ini
7 Ibid, 24. 8 E. Utrecht, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. (Surabaya: Tinta Mas, 1986). 252.
8
tampaknya sudah kurang memadai untuk menjelaskan secara lengkap kompetensi suatu pengadilan sebagaimana yang diuraikan diatas.
Pembagian kompetensi atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht) dapat dijelaskan sebagai berikut.9
1. Atribusi yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan:
- Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh pengadilan Administrasi terhadap pengadiilan Negeri (umum), pengadilan Agama atau pengadilan Militer.
- Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh pengadilan Negeri (umum) terhadap pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
2. Distribusi yang berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengnai wilayah hukum. Contoh antara pengadilan Negeri Bandung dengan pengadilan Negeri antara lain di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Pembagian yang lain adalah pembagian atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Sebagaimana umumnya dalam hukum acara, kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara. Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok perkara. Sedangkan kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan pemerintah yang “mengeluarkan Keputusan (Beschikking)”.
9 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2008). 29.
9
Sedangkan perbuatan pemerintah lainnya, yakni melakukan perbuatan materiil (materiele daad) dan mengeluarkan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kompentensi absolut PTUN adalah sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 4 UU Nomor 5 tahun 1986). Dalam pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa timbulnya sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Pengertian keputusan Tata Usaha Negara secara stipulatif dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 UU No 5 Tahun 1986 yang berbunyi: Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimblkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum Perdata.
Disamping itu masih termasuk ke dalam Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 3, yaitu dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya, sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Jangka waktu untuk ditentukan empat bulan sejak permohan diterima, jika peraturan perundang-undangan tidak menentukannya. Tetapi apabila jangka waktu untuk itu ditetapkan di dalam peraturan perundangan dasarnya, maka digunakan batas waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasar tersebut.10
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak yang sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu. Untuk pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pengaturannya terdapat dalam pasal 6
10 SF Marbun. Peradilan Tata Usaha Negara. (Yogyakarta: Liberty, 2003). 61.
10
dan pasal 54 UU No. 5 tahun 1986. Pasal 6 menentukan batas daerah hukum suatu pengadilan Tata Usaha Negara. Batas daerah hukum itu dibedakan atas tigas wilayah yang meliputi wilayah kotamadya, Kabupaten dan wilayah propinsi.11 Pasal 6 tersebut selengkapnya berbunyi:
a) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau Kabupaten.
b) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Propinsi dan daerah hukumannya meliputi wilayah propinsi.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat atau pihak Tergugat, diatur tersendiri di dalam pasal 54 yang berbunyi sebagai berikut:
a) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
b) Apibila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
d) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketan Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
e) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
f) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukannya Tergugat.
Bahwa oleh karena Pengadilan Tata Usaha Negar berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, maka dalam Undang-undang Nomor % tahun 1986 telah digariskan ketentuan-ketentuan yang menyatakan antara lain:
11 Ibid, 59.
11
 Tempat kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, sehingga dengan kedudukan itu akan lebih mempermudah rakyat mencapainya.
 Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamaannya untuk kemudian diteruskan ke Pengadilan yang berwenang mengadilinya.
 Bahkan dalam hal-hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolut maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi yang jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 55 UU PTUN hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah atribusi dari Sjachran Basah itu sama dengan kompetensi absolut dan untuk istilah delegasi adalah sama dengan kompetensi relatif.
Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas, dalam Pasal 77 UU PTUN disebutkan:
a) Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
b) Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
c) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.
12
Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN, harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban atas pokok sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengeketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima.12
C. Pembatasan-Pembatasan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Suatu keputusan itu memenuhi unsur/ciri-ciri sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 3, tetapi oleh undang-undang dinyatakan tidak dapat dijadikan sebagai obyek sengketa Tata Usaha negara. Didalam UU No. 5 tahun 1986, beberapa pembatasan tersebut dimuat dalam penjelasan umum, pasal 2, pasal 48, pasal 49 dan pasal 142.
Oleh Sjachran Basah, pengelompokan pembatasan itu dibedakan menjadi dua golongan. Di samping itu masih dapat ditambahkan satu jenis pembatasan lagi, yakni pembatasan langsung yang bersifat sementara (eimnalig).13
1. Pembatasan Langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi Peradilan Tata Usaha negara untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam penjelasan umum, pasal 2 dan pasal 49 UU Nomor 4 Tahun 1986. Dan menurut Penjelasan Umum (angka 1) sengketa Administrasi di lingungan Angkatan Bersenjaa dan dalam soal-soal Militer yang menurut ketentuan Undang-undang nomor 16 tahun 1953 dan Undang-undang Nomor 19 tahun 1958, diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh pengadilan Tata Usaha Negara Militer.
2. Pembatasan Tidak Langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka kemunginan bagi Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat banding (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh. Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam pasal 48. Berdasarkan pembatasan tidak langsung ini, jika upaya administratif (administratif beroep) yang tersedia telah ditempuh dan ternyata pihak penggugat masih merasa dirugikan, maka gugatan dapat diajukan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Jadi jika admistratif beroep telah ditempuh, sengketa administratif itu langsung diajukan pada tingkat Pengadilan
12 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). 31. 13 SF Marbun. Peradilan Tata Usaha Negara. (Yogyakarta: Liberty, 2003). 62.
13
Tinggi Tata Usaha Negara. Ketentuan yang demikian terdapat di dalam pasal 51 ayat (3) yang berbunyi:
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pasal 48.
3. Pembatasan langsung bersifat sementara terdapat dalam Bab VI (peralihan) pasal 142 ayat (1). Pembatasan ini bersifat langsung, di mana tidak terbuka kemungkinan sama sekali bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya. Tapi hal ini hanya berlaku sementara dan satu kali (einmalig). Pembatasan langsung yang bersifat sementara kompetensi absolut Perdilan Tata Usaha Negara ini berlaku bagi sengketa Tata Usaha Negara yang sedang diadili oleh Peradilan Umum pada saat terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986. Pasal 142 ayat 1 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa “Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Umum.”
Dengan demikian kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara terbatas pada tindakan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara seperti ditentukan pasal 1 ayat 3 dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 2, 48, 49, 142 dan Penjalasan Umum). Tindakan-tindakan Tata Usaha Negara selain yang disebutkan dalam kompetensinya itu menjadi kompetensi peradilan lain. Tindakan dalam lapangan perdata atau tindakan pemerintah yang melanggar hukum (onrechtmatige) misalnya menjadi kompetensi Peradilan Umum.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kompetensi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah Kewenangan (Kekuasaan) Untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi dari satu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belaku.
Ada beberapa untuk dapat mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara: pertama dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundanentum petendi), kedua, dengan melakukan pembedakan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht), ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relative.
B. Saran
Dari sedikit yang kami paparkan diatas, pasti banyak sekali kekurangan. Itu karena kurangnya informasi yang kami peroleh. Maka dari itu, saran dan kritik yang konstruktif dari temen-temen mahasiswa begitu juga dari bapak dosen sangat kami butuhkan.Demi perkembangan dalam intelektual kita yang lebih baik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, SF.2003. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty.
Harahap, Zairin. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
-----------------. 1994. Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Balai Pustaka.
-----------------. 1986. Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. Surabaya: Tinta Mas.
Abdulah, Rozali. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian produksi dalam Islam

A.      P engertian Produksi Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi,dalam kegiatan ekonomi tidak akan pernah ada kegiatan kon...