makalah ini ditunjukan untuk memenuhi mata kuliah hukum acara perdata
Bapak Qoi’dud duwal SH.i
“KEWENANGAN DALAM SURAT KUASA”
![]() |
Oleh:
ADI PUTRA (S20153005)
PROGRAM STUDI HUKUM TATA
NEGARA
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
banyak sekali yang kurang memahami
tentang surat kuasa. Padahal surat kuasa sangatlah penting dalam
lembaga-lembaga, baik lembaga peradilan dan lembaga hukum.
Surat kuasa ini merupakan jenis surat yang akurat karena,
surat kuasa ini sering berkaitan dengan lembaga hukum. oleh sebab itu, surat
kuasa dapat diartikan “kuasa” yaitu
untuk mewakili kepentingan hukum seseorang.
Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah
masyarakat untuk berbagai keperluan. Pada awalnya konsep surat kuasa hanya
dikenal dalam bidang hukum dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang
menimbulkan akibat hukum, namun akhirnya surat kuasa mengalami perkembangan dan
bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam berbagai bidang
dalam kehidupan masyarakat.
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimana
pengertian surat kuasa dalam arti luas ?
2.
Bagaimana
bentuk klasifikasi dalam surat kuasa ?
BAB II
2.1 Pengertian kuasa
Secara umum, surat
kuasa tunduk pada prinsip yang diatur dalam bab keenam belas, buku III KUHP
perdata,sedang aturan khususnya diatur dan tunduk akan ketentuan hukum acara
yang digariskan HIR dan RBG. Oleh karena itu, perlu disinggung secara ringkas
beberapa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap berkaitan dengan kuasa
khusus.
Untuk memahami
pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk pasal 1792 KUH perdata, yang
berbunyi : pemberian kuasa adalah suatu
persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk dan atas nama penyelenggaraan suatu urusan.
Bertitik tolak dari ketentuan
pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak yang terdiri dari :
·
Pemberi
kuasa atau lastgever (instruction, mandate)
·
Penerima
kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu
untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut
pemberian kuasa atau disebut latsgeving (volmacht, full power ), jika :
·
Pemberi
kuasa melimpahkan kuasa atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus
kepentingannya, sesuai fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa:
·
Dengan
demikian penerima kuasa (latshebber,mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili
pemberi kuasa terhadap pihak ketiga dan unguk atas nama pemberi kuasa;
·
Oleh
karena itu, pemberi tanggungbjawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang
perbuatan yang dilakukan kuasa tidak memiliki wewenang yang diberikan pemberi
kuasa.
Pada dasarnya,
pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat impreatif. Apabila
para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam
undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa
tidak dapat dicabut
kembali(irrevocable). Hal ini
dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat
mengatur (aannvuled recht).[1]
2.2 SIFAT PERJANJIAN KUASA
A.
penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai
wakil pemberi kuasa, Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan
internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum
itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa
menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu.
·
Memberi
hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
·
Tindakan
kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan
yang dilakukan kuasa tidak melampau batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi
kuasa kepadanya;
·
Dalam
ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa
berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan
penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari
hubungan yang demikian, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak
ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa
sebagai principal (pihak materill).
B. pemberi kuasa
bersifat konsensual
Sifat perjanjian atau
persetujuan kuasa adalah konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan
(agreement) dalam arti;
·
Hubngan
pemberi kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa.
·
Hubungan
hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan menginkat
sebagai pemberi persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak)
·
Oleh
karena itu, pemberi kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang
tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya pasal
1792 dan pasal 1793 ayat 1 KUH perdata menyatakan, pemberian kuasa selain
didasarkan persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta
otentik atau dibawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian, tanpa
mengurangi penjelasan diatas, berdasarkan pasal 1793 ayat 2 KUH perdata,
penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan
dari pelaksaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini,
tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa khusus harus
disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau surat kuasa
khusus.
C. Berkarakter
garansi-kontrak
Ukuran untuk
menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas;
·
Sepanjang
kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
·
Apabila
kuasa melampaui batas mandat, tanggungjawab pemberi kuasa hanya sepanjang
tindakan, yang sesuai mandat yang diberikan. Sedangkan pelampauan itu menjadi
tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang digariskan
pasal 1806 KUH perdata.
Dengan demikian,
hal-hal yang dapat diminta tanggungjawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada
pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau intruksi
yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai anggapan
hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah
memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.
2.3 berakhirnya kuasa
Pasal 1813 KUH
perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau
unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan pasal 1338 KUH
perdata ayat 2 yang menegaskan bahwa, persetujuan tidak dapat ditarik atau
dibatalkan secara sepihak tetapi harus didasarkan kesepakatan kedua belah pihak
(secara bilateral”)
Hal-hal yang dapat
mengakhiri pemberian kuasa menurut pasa 1813 KUH perdata;
a.
Pemberian
kuasa menarik kembali secara sepihak
Ketentuan penarikan atau
pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa diatur lebih lanjut dalam pasal
1814 KUH perdata dan seterusnya, dengan acuhan;
·
Pencabutan
tanpa memerlukan persetujuan daripenerima kuasa
·
Pencabutan
dapat dilakukan secara tegas dengan bentuk;
1.
Mencabut
secara tegas dengan tertulis atau
2.
Meminta
kembali surat kuasa darimpenerima kuasa
·
Pencabutan
secara diam-diam, berdasarkan pasal 1816 KUH prdata. Caranya, pemberi kuasa
mengangkat atau menujuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama.
Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian
kuasa kepada kuasa yang baru, ditarik secara diam-diam.
Sehubung dengan
pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan cara
memberitahukannya atau dengan mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi
perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena
sejak itu, setiap tindakan yang dilakuakan kuasa untuk dan atas nama pemberi
kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak
terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang
beritikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
b.
Salah
satu pihak meninggal
Pasal 1813 KUH perdata
menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberi
kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut
kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak dilanjutkan oleh ahli waris, harus
dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris
yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberin kuasa dimaksud.
c.
Penerima
kuasa melepas kuasa
Pasal 1817 KUH perdata, memberi
hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan kuasa yang diterimanya, dengan
syarat;
·
Harus
memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
·
Peepasan
tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan
pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada
pemberi kuasa.
2.4 Dapat
disepakati kuasa mutlak
Untuk menghindari
ketidak pastian pemberi kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat
mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas
secara sepihak pada sisi lain, lalu intas pergaulan hukum telah memperkenalkan
dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini diberi
nama “kuasa mutlak” yang memuat klausul;
·
Pemberi
kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa;
·
Meninggalnya
pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa.
Kedua bentuk kalusul
diatas, merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu,
menyingkirikan ketentuan pasa 1813 KUH
perdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak
bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam
praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolekannya
membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan
berkontrak (freedom of contract) yang digariskan dalam pasal 1338 KUH perdata.
Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kebebasan kesepakatan yang
mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan pasal 1337 KUH
perdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition)
oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusuliaan dan ketertiban umum
(morals and public order).
Pendapat dan
pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu diantaranya, putusan MA No.
3604 k/pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum
yang dikemukakan dalam putusan MA No. 731 k/sip/1975,5 yang anatar
lain menyatakan ;
·
Surat
kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUH perdata. Namun demikian,
yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu
diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan
(bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual and usual or customary condition;
·
Putusan
MA No. 731 k/sip/1975 telah menegaskan ketentuan pasal 1813 KUH perdata, tidak
bersifat limitatif dan juga tidak mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak
dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat
dicabut kembali.pendirian ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum
perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur.
·
Begitu
juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak,telah
diterima penerapannya diindonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig,
sehingga dianggap tidak bertentangan dengan pasal 1339 dan pasal 1347 KUH
perdata.
Akan tetapi harus di
ingat kembali larangan yang dimuat dalam intruksi Mendagri No. 14 tahun 1982.
Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli
tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual
tanah miliknya. Alasan larangan itu,dijelaskan dalam putusan MA No. 2584
k/pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan; surat kuasa mutlak, mengenai jual beli
tanah, tidak dapat dibenarkan dalam praktik sering disalahgunakan untuk
menyeludupkan jual beli tanah.
B. jenis kuasa
Pada umumnya, seseorang yang memberikan kuasa kepada orang lain untuk
melakukan perbuatan tertentu, melalui surat kuasa khusus. Tapi tahukah anda,
terdapat beberapa jenis surat surat kuasa. Biasanya jenis-jenis inilah yang
dapat dipakai di dalam peradilan.
Menurut aturan perundang-undangan, beberapa jenis surat kuasa adalah
sebagai berikut
1. Kuasa Umum
Surat kuasa ini bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus
kepentingan pemberi kuasa, yaitu :
a. Melakukan
tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
b. Pengurusan
itu meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberikuasa
atas harta kekayaannya;
c. Dengan
demikian, titik berat kuasa umum hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa
mengenai pengurusan yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur
kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena
itu,ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum tidak dapat digunakan di depan
pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Untuk dapat tampil di depan pengadilan
sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus.
Ditegaskan dalam putusan PT Bandung No. 194/19722-8-1972)
2.
Kuasa Khusus
Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan atau lebih.
Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan
pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.
Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa
khusus di depan pengadilan. Surat kuasa harus dilakukan hanya untuk mengenai
suatu kepentingan tertentu atau lebih. Harus disebutkan secara terperinci
tindakan apa yang harus dilakukan oleh penerima kuasa. Semisal kuasa untuk
melakukan penjualan rumah hanya untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa untuk
menjual rumah. Demikian pula, jika untuk mewakili pemberi kuasa untuk tampil di
pengadilan, surat kuasa khusus harus mencantumkan secara terperinci
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan penerima kuasa di pengadilan.
3.
Kuasa Istimewa
Surat kuasa ini mengatur perihal pemberian surat kuasa istimewa dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, yakni :
a. Bersifat
Limitatif. Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu
yang sangat penting, dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan
b. secara
pribadi. Lingkup tindakannya hanya terbatas misalnya, untuk memindahtangankan
benda-benda milik pemberi kuasa, untuk membuat perdamaian, untuk mengucapkan
sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan perundang-undangan.
c. Harus
Berbentuk Akta Otentik (Akta Notaris). Surat kuasa istimewa hanya dapat
diberikan dalam bentuk surat yang sah.
4.
Kuasa Perantara
Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent).
Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction)
kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan
agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak
bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.
d. kuasa menurut
hukum
Kuasa
menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoording atau legal mandatory
(legal representative). Artinya, undang-undang menetapkan bahwa seseorang
atau badan hukum dengan sendirinya menurut hukum berhak bertindak mewakili
orang atau badan hukum tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.
Bagi orang
yang berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum, kehadirannya
sebagai wakil atau kuasa tidak memerlukan surat kuasa secara tertulis
(bijzondereschriftelijke machtiging, power of attorney) dari pemerintah atau
instansi yang bersangkutan.
Berikut di
bawah ini, beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili
kepentingan perorangan atau badan hukum tanpa memerlukan surat kuasa yaitu:
1.
Wali
terhadap anak di bawah perwalian
Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”), wali dengan sendirinya menurut hukum menjadi kuasa untuk
bertindak mewakili kepentingan anak yang berada di bawah perwalian.
2.
Kurator atas
orang yang tidak waras
Menurut Pasal 299 HIR, seseorang yang sudah dewasa
tetapi tidak bisa memelihara dirinya dan mengurus barangnya karena kurang
waras, dapat diminta untuk diangkat seorang Kurator. Dengan demikian, Kurator
sah dan berwewang bertindak mewakili kepentingan orang yang berada di bawah
pengawasan tersebut sebagai kuasa menurut hukum.
3.
Orang tua
terhadap anak yang belum dewasa
Menurut
Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan, orang tua dengan sendirinya menurut hukum
berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Oleh
karena itu, orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak-anak yang
belum dewasa kepada pihak ketiga maupun di depan pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa dari anak tersebut.
4.
Balai Harta
Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan
Menurut
Pasal 15 ayat (1), Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), dalam putusan pernyataan
pailit, harus diangkat kurator. Balai Harta Peninggalan atau Kurator dalam
kepailitan berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum (legal
mandatory) untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan tugas
itu dilakukan berdasarkan perintah undang-undang tanpa memerlukan suarat kuasa
dari debitur.
5.
Direksi atau
pengurus badan hukum
Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) sendiri menentukan,
yang berhak bertindak sendiri menurut hukum mewakili kepentingan Perseroan di
dalam dan di luar pengadilan adalah direksi, tanpa perlu memerlukan surat kuasa
dari Perseroan.[2]
Apabila
badan hukum tersebut berbentuk yayasan, maka menurut Pasal 35 ayat
(1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”), pengurus
yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan
tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini, pembina atau pengawas tidak bertindak sebagai
legal mandatory, akan tetapi hanyalah organ pengurus yayasan saja.
Dalam hal,
apabila badan hukum berbentuk koperasi, maka pengurus koperasi bertindak
sebagai kuasa mewakili kepentingan koperasi di dalam dan di luar pengadilan.
6.
Direksi
perusahaan perseroan
Perusahaan
Perseroan (“Persero”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan, adalah Badan Usaha Milik Negara
(“BUMN”) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969
tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, yaitu berbentuk Perseroan Terbatas
sebagaimana yang dimaksud dalam UU PT yang seluruh atau sedikitnya 51% (lima
puluh satu persen) saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh Negara melalui
penyertaan modal secara langsung. Maka, prinsip-prinsip Perseroan Terbatas
berlaku terhadap BUMN sebagai Persero. Oleh karena itu, direksi berkedudukan
sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan
tanpa memerlukan surat kuasa dari pihak manapun. Ketentuan kuasa menurut hukum
ini juga berlaku tidak terbatas terhadap BUMN, tetapi meliputi Perusahaan
Daerah.
7.
Pimpinan
Perwakilan Perusahaan Asing
Pimpinan
perwakilan perusahaan asing yang ada di Indonesia dinyatakan sebagai legal
mandatory yang disejajarkan dengan wettelijke vertegenwoordig, berkedudukan dan
berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor
perwakilan perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa khusus dari kantor pusat yang ada di luar negeri.
8.
Pimpinan
Cabang Perusahaan Domestik
Menurut
Putusan Mahkamah Agung No. 779 K/Pdt/1992, bahwa pimpinan cabang suatu bank
berwenang bertindak untuk dan atas pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa
khusus untuk itu. Maka dalam praktik peradilan juga telah mengakui, bahwa
pimpinan cabang perusahaan domestik, berkedudukan dan berkapasitas sebagai
kuasa menurut hukum sesuai dengan batas kualitas pelimpahan wewenang yang
diberikan Perusahaan Pusat kepada cabang tersebut.
2.5
undang-undang tentang kuasa
Pasal 1792
Pemberian kuasa ialah
suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang
lain yang menerimanya
untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Pasal 1793
Kuasa dapat diberikan
dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah
tangan bahkan dengan
sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula
terjadi secara
diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
Pasal 1794
Pemberian kuasa
terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam
hal yang terakhir
upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh
meminta upah yang
lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.
Pasal 1795
Pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih,
atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.
Pasal 1796
Pemberian kuasa yang
dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang
menyangkut
pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di
atasnya, untuk
membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat
dilakukan oleh
seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang
tegas.
Pasal 1797
Penerima kuasa tidak
boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang
diberikan untuk
menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk
menggantungkan
penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
Pasal 1798
Orang-orang perempuan
dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi
kuasa tidaklah
berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum
dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan
yang dibuat
oleh anak yang belum
dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima
kuasa tanpa bantuan
suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain
menurut
ketentuan-ketentuan Bab V dan VII Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang
Hukum Perdata ini.
Pasal 1799
Pemberi kuasa dapat
menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah
melakukan perbuatan
hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan
kepadanya untuk
memenuhi persetujuan yang telah dibuat.
BAGIAN 2
Kewajiban Penerima
Kuasa
Pasal 1800
Penerima kuasa,
selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya dan
bertanggung jawab
atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak
dilaksanakannya kuasa
itu.
Begitu pula ia wajib
menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pembkuasa
meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.
Pasal 1801
Penerima kuasa tidak hanya
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja
melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan
kuasanya. Akan tetapi
tanggung jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cummenerima
kuasa, tidaklah seberat tanggung jawab yang diminta dari orang yang menerima
kuasa dengan
mendapatkan upah.
Pasal 1802
Penerima kuasa wajib
memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang telah dilakukan sertamemberikan
perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya,
sekalipun apa yang
diterima itu tidak harus dibayar kepada pemberi kuasa.
Pasal 1803
Penerima kuasa
bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya
dalam melaksanakan
kuasanya:
1. bila tidak
diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
2. bila kuasa itu
diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang
dipilihnya ternyata
orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiadianggap telah
memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lasebagai
penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia
atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala
hal, dapat secara
langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh
penerima kuasa
sebagai penggantinya.
Pasal 1804
Bila dalam satu akta
diangkat beberapa penerima kuasa untuk suatu urusan, maka terhadap
mereka tidak terjadi
suatu perikatan tanggung-menanggung kecuali jika hal itu ditentukan
dengan tegas dalam
akta.
Pasal 1805
Penerima kuasa harus
membayar bunga atau uang pokok yang dipakainya untuk keperluannyasendiri
terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang
harus
diserahkannya pada
penutupan perhitungan terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan
kuasa.
Pasal 1806
Penerima kuasa yang
telah memberitahukan secara sah hal kuasanya kepada orang yang
dengannya ia
mengadakan suatu persetujuan dalam kedudukan sebagai penerima kuasa, tidak
bertanggung jawab
atas apa yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali jika ía secara pribadi
mengikatkan diri
untuk itu.
BAGIAN 3
Kewajiban-kewajiban
Pemberi Kuasa
Pasal 1807
Pemberi kuasa wajib
memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut
kekuasaan yang telah
ía berikan kepadanya.
Ia tidak terikat pada
apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu kecuali jika ía telah
menyetujui hal itu
secara tegas atau diam-diam.
Pasal 1808
Pemberi kuasa wajib
mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima
kuasa untuk
melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah
diadakan perjanjian.
Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian, maka pemberi kuasa
tidak dapat
menghindarkan diri dari kewajiban mengembalikan persekot dan biaya serta
membayar upah
tersebut di atas, sekalipun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya itu.
Pasal 1809
Begitu pula pemberi
kuasa harus memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-
kerugian yang
dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya asal dalam hal itu penerima kuasa
tidak bertindak
kurang hati-hati.
Pasal 1810
Pemberi kuasa harus
membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima
kuasa, terhitung
mulai hari dikeluarkannya persekot itu.
Pasal 1811
Jika seorang penerima
kuasa diangkat oleh berbagai orang untuk menyelenggarakan suatu
urusan yang harus
mereka selesaikan secara bersama, maka masing-masing dari mereka
bertanggung jawab
untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari
pemberian kuasa itu.
Pasal 1812
Penerima kuasa berhak
untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya
hingga kepadanya
dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.
BAGIAN 4
Bermacam-macam Cara
Berakhirnya Pemberian Kuasa
Pasal 1813
Pemberian kuasa
berakhir:
dengan penarikan
kembali kuasa penerima kuasa;
dengan pemberitahuan
penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
dengan meninggalnya,
pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima
kuasa dengan kawinnya
perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
Pasal 1814
Pemberi kuasa dapat
menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat
memaksa pemegang
kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.
Pasal 1815
Penarikan kuasa yang
hanya diberitahukan kepada penerima kuasa tidak dapat diajukan kepada
pihak ketiga yang
telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak
mengetahui penarikan
kuasa itu1 hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dan pemberi kuasa
terhadap penerima
kuasa.
Pasal 1816
Pengangkatan seorang
penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama,
menyebabkan
ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang pertama, terhitung mulai hari
diberitahukannya
pengangkatan itu kepada orang yang disebut belakangan.
Pasal 1817
Pemegang kuasa dapat
membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian
kepada pemberi kuasa.
Akan tetapi bila
pemberitahuan penghentian ini, baik karena Ia tidak mengindahkan waktu
maupun karena sesuatu
hal lain akibat kesalahan pemegang kuasa sendiri, membawa kerugian
bagi pemberi kuasa,
maka pemberi kuasa ini harus diberikan ganti rugi oleh pemegang kuasa
itu kecuali bila
pemegang kuasa itu tak mampu untuk meneruskan kuasanya tanpa
mendatangkan kerugian
yang berarti bagi dirinya sendiri.
Pasal 1818
Jika pemegang kuasa
tidak tahu tentang meninggalnya pemberi kuasa atau tentang suatu sebab
lain yang menyebabkan
berakhirnya kuasa itu, maka perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
tidak tahu itu adalah
sah.
Dalam hal demikian,
segala perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga
yang beritikad baik,
harus dipenuhi terhadapnya.
Pasal 1819
Bila pemegang kuasa
meninggal dunia, maka para ahli warisnya harus memberitahukan hal itu
kepada pemberi kuasa
jika mereka tahu pemberian kuasa itu, dan sementara itu mengambil
tindakan-tindakan
yang perlu menurut keadaan bagi kepentingan pemberi kuasa, dengan
ancaman mengganti
biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.
BAB III
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Menurut Pasal
1792 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pemberian
kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang
lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberikan kuasa. Dengan demikian surat kuasa adalah suatu alat yang kini
mepermudakan seseorang untuk melakukan urusan dalam bidang hukum untuk mengurus
kepentingannya lewat orang kedua yang membantu dengan ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati bersama.
4.2 saran
Berhubungan dengan trennya surat kuasa pada masa kini
dikalangan masyarakat maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
a.
adanya seminar dikalangan pemerintahan desa
mengenai batas-batas dan berfungsi suatu surat kuasa di dalam hukum
b.
menerjunkan mahasiswa dalam bidang hukum kedalam
lapisan masyarakat untuk memberi pengertian lebih lanjut dalam membuat surat
kuasa dan memberikan kuasa kepada si kuasa, guna untuk menghindari penipuan
yang berkedok surat kuasa
Daftar pustaka
Harahap yahya, hukum acara perdata kewenangan surat
kuasa, sinar grafika, jakarta,2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar