Rabu, 08 November 2017

makalah surat kuasa



makalah ini ditunjukan untuk memenuhi mata kuliah hukum acara perdata
 Bapak Qoi’dud duwal SH.i
“KEWENANGAN DALAM SURAT KUASA”



Description: LOGO IAIN.jpg
 









Oleh:
ADI PUTRA (S20153005)



PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARI’AH 
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  latar belakang
banyak sekali yang kurang memahami tentang surat kuasa. Padahal surat kuasa sangatlah penting dalam lembaga-lembaga, baik lembaga peradilan dan lembaga hukum.
Surat kuasa ini merupakan jenis surat yang akurat karena, surat kuasa ini sering berkaitan dengan lembaga hukum. oleh sebab itu, surat kuasa dapat diartikan “kuasa” yaitu  untuk mewakili kepentingan hukum seseorang.
Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Pada awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, namun akhirnya surat kuasa mengalami perkembangan dan bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat.












1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian surat kuasa dalam arti luas ?
2.      Bagaimana bentuk klasifikasi dalam surat kuasa ?




BAB II
2.1 Pengertian kuasa


Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip yang diatur dalam bab keenam belas, buku III KUHP perdata,sedang aturan khususnya diatur dan tunduk akan ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Oleh karena itu, perlu disinggung secara ringkas beberapa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap berkaitan dengan kuasa khusus.
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk pasal 1792 KUH perdata, yang berbunyi : pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas nama penyelenggaraan suatu urusan.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak yang terdiri dari :
·         Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate)
·         Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau disebut latsgeving (volmacht, full power ), jika :
·         Pemberi kuasa melimpahkan kuasa atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa:
·         Dengan demikian penerima kuasa (latshebber,mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga dan unguk atas nama pemberi kuasa;
·         Oleh karena itu, pemberi tanggungbjawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak memiliki wewenang yang diberikan pemberi kuasa.
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat impreatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut
kembali(irrevocable). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur (aannvuled recht).[1]



2.2  SIFAT PERJANJIAN KUASA
A.  penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu.
·         Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
·         Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampau batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
·         Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materill).
B. pemberi kuasa bersifat konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti;
·         Hubngan pemberi kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa.
·         Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan menginkat sebagai pemberi persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak)
·         Oleh karena itu, pemberi kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya pasal 1792 dan pasal 1793 ayat 1 KUH perdata menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau dibawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian, tanpa mengurangi penjelasan diatas, berdasarkan pasal 1793 ayat 2 KUH perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa khusus harus disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau surat kuasa khusus.

C. Berkarakter garansi-kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas;
·         Sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
·         Apabila kuasa melampaui batas mandat, tanggungjawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai mandat yang diberikan. Sedangkan pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang digariskan pasal 1806 KUH perdata.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggungjawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau intruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggungjawab kuasa, sesuai anggapan hukum: atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya.
2.3  berakhirnya kuasa
Pasal 1813 KUH perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan pasal 1338 KUH perdata ayat 2 yang menegaskan bahwa, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak tetapi harus didasarkan kesepakatan kedua belah pihak (secara bilateral”)
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut pasa 1813 KUH perdata;
a.       Pemberian kuasa menarik kembali secara sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa diatur lebih lanjut dalam pasal 1814 KUH perdata dan seterusnya, dengan acuhan;
·         Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan daripenerima kuasa
·         Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dengan bentuk;
1.      Mencabut secara tegas dengan tertulis atau
2.      Meminta kembali surat kuasa darimpenerima kuasa
·         Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan pasal 1816 KUH prdata. Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menujuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru, ditarik secara diam-diam.
Sehubung dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan cara memberitahukannya atau dengan mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakuakan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
b.      Salah satu pihak meninggal
Pasal 1813 KUH perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberi kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak dilanjutkan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberin kuasa dimaksud.
c.       Penerima kuasa melepas kuasa
Pasal 1817 KUH perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan kuasa yang diterimanya, dengan syarat;
·         Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
·         Peepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
2.4  Dapat disepakati kuasa mutlak
Untuk menghindari ketidak pastian pemberi kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak pada sisi lain, lalu intas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini diberi nama “kuasa mutlak” yang memuat klausul;
·         Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa;
·         Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa.
Kedua bentuk kalusul diatas, merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu, menyingkirikan ketentuan pasa 1813 KUH  perdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolekannya membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan dalam pasal 1338 KUH perdata. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kebebasan kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan pasal 1337 KUH perdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusuliaan dan ketertiban umum (morals and public order).
Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu diantaranya, putusan MA No. 3604 k/pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam putusan MA No. 731 k/sip/1975,5 yang anatar lain menyatakan ;
·         Surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUH perdata. Namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual and usual or customary condition;
·         Putusan MA No. 731 k/sip/1975 telah menegaskan ketentuan pasal 1813 KUH perdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali.pendirian ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur.
·         Begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak,telah diterima penerapannya diindonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan pasal 1339 dan pasal 1347 KUH perdata.
Akan tetapi harus di ingat kembali larangan yang dimuat dalam intruksi Mendagri No. 14 tahun 1982. Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu,dijelaskan dalam putusan MA No. 2584 k/pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan; surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyeludupkan jual beli tanah.
B. jenis kuasa
Pada umumnya, seseorang yang memberikan kuasa kepada orang lain untuk melakukan perbuatan tertentu, melalui surat kuasa khusus. Tapi tahukah anda, terdapat beberapa jenis surat surat kuasa. Biasanya jenis-jenis inilah yang dapat dipakai di dalam peradilan.
Menurut aturan perundang-undangan, beberapa jenis surat kuasa adalah sebagai berikut
1.      Kuasa Umum
Surat kuasa ini bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu :
a.       Melakukan tindakan  pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
b.      Pengurusan itu meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberikuasa atas harta kekayaannya;
c.       Dengan demikian, titik berat kuasa umum hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu,ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum tidak dapat digunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Ditegaskan dalam putusan PT Bandung No. 194/19722-8-1972)
2.      Kuasa Khusus
Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa  yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan. Surat kuasa harus dilakukan hanya untuk mengenai suatu kepentingan tertentu atau lebih. Harus disebutkan secara terperinci tindakan apa yang harus dilakukan oleh penerima kuasa. Semisal kuasa untuk melakukan penjualan rumah hanya untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa untuk menjual rumah. Demikian pula, jika untuk mewakili pemberi kuasa untuk tampil di pengadilan, surat kuasa khusus harus mencantumkan secara terperinci tindakan-tindakan yang dapat dilakukan penerima kuasa di pengadilan.
3.      Kuasa Istimewa
Surat kuasa ini mengatur perihal pemberian surat kuasa istimewa dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, yakni :
a.       Bersifat Limitatif. Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting, dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan
b.      secara pribadi. Lingkup tindakannya hanya terbatas misalnya, untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, untuk membuat perdamaian, untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan perundang-undangan.
c.       Harus Berbentuk Akta Otentik (Akta Notaris). Surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah.

4.      Kuasa Perantara
Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.
d.       kuasa menurut hukum
Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoording atau legal mandatory (legal representative). Artinya,  undang-undang menetapkan bahwa seseorang atau badan hukum dengan sendirinya menurut hukum berhak bertindak mewakili orang atau badan hukum tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.
Bagi orang yang berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum, kehadirannya sebagai wakil atau kuasa tidak memerlukan surat kuasa secara tertulis (bijzondereschriftelijke machtiging, power of attorney) dari pemerintah atau instansi yang bersangkutan.
Berikut di bawah ini, beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili kepentingan perorangan atau badan hukum tanpa memerlukan surat kuasa yaitu:
1.      Wali terhadap anak di bawah perwalian
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), wali dengan sendirinya menurut hukum menjadi kuasa untuk bertindak mewakili kepentingan anak yang berada di bawah perwalian.
2.      Kurator atas orang yang tidak waras
Menurut Pasal 299 HIR, seseorang yang sudah dewasa tetapi tidak bisa memelihara dirinya dan mengurus barangnya karena kurang waras, dapat diminta untuk diangkat seorang Kurator. Dengan demikian, Kurator sah dan berwewang bertindak mewakili kepentingan orang yang berada di bawah pengawasan tersebut sebagai kuasa menurut hukum.
3.      Orang tua terhadap anak yang belum dewasa
Menurut Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan, orang tua dengan sendirinya menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Oleh karena itu, orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak-anak yang belum dewasa kepada pihak ketiga maupun di depan pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari anak tersebut.
4.      Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan
Menurut Pasal 15 ayat (1), Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator. Balai Harta Peninggalan atau Kurator dalam kepailitan berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum (legal mandatory) untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan tugas itu dilakukan berdasarkan perintah undang-undang tanpa memerlukan suarat kuasa dari debitur.
5.      Direksi atau pengurus badan hukum
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) sendiri menentukan, yang berhak bertindak sendiri menurut hukum mewakili kepentingan Perseroan di dalam dan di luar pengadilan adalah direksi, tanpa perlu memerlukan surat kuasa dari Perseroan.[2]

Apabila badan hukum tersebut  berbentuk  yayasan, maka menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”), pengurus yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini, pembina atau pengawas tidak bertindak sebagai legal mandatory, akan tetapi hanyalah organ pengurus yayasan saja.

Dalam hal, apabila badan hukum berbentuk koperasi, maka pengurus koperasi bertindak sebagai kuasa mewakili kepentingan koperasi di dalam dan di luar pengadilan.
6.      Direksi perusahaan perseroan
Perusahaan Perseroan (“Persero”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan, adalah Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, yaitu berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam UU PT yang seluruh atau sedikitnya 51% (lima puluh satu persen) saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung. Maka, prinsip-prinsip Perseroan Terbatas berlaku terhadap BUMN sebagai Persero. Oleh karena itu, direksi berkedudukan sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari pihak manapun. Ketentuan kuasa menurut hukum ini juga berlaku tidak terbatas terhadap BUMN, tetapi meliputi Perusahaan Daerah.
7.      Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing
Pimpinan perwakilan perusahaan asing yang ada di Indonesia dinyatakan sebagai legal mandatory yang disejajarkan dengan wettelijke vertegenwoordig, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari kantor pusat yang ada di luar negeri.
8.      Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik
Menurut Putusan Mahkamah Agung No. 779 K/Pdt/1992, bahwa pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa khusus untuk itu. Maka dalam praktik peradilan juga telah mengakui, bahwa pimpinan cabang perusahaan domestik, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum sesuai dengan batas kualitas pelimpahan wewenang yang diberikan Perusahaan Pusat kepada cabang tersebut.

2.5  undang-undang tentang kuasa
Pasal 1792
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang
lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

Pasal 1793
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah
tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula
terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.

Pasal 1794
Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam
hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh
meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.

Pasal 1795
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.

Pasal 1796
Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang
menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di
atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang
tegas.

Pasal 1797
Penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang
diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk
menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.

Pasal 1798
Orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi
kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat
oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima
kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain
menurut ketentuan-ketentuan Bab V dan VII Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang
Hukum Perdata ini.

Pasal 1799
Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah
melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan
kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.

BAGIAN 2
Kewajiban Penerima Kuasa

Pasal 1800
Penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya dan
bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak
dilaksanakannya kuasa itu.
Begitu pula ia wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pembkuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.

Pasal 1801
Penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan
kuasanya. Akan tetapi tanggung jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cummenerima kuasa, tidaklah seberat tanggung jawab yang diminta dari orang yang menerima
kuasa dengan mendapatkan upah.

Pasal 1802
Penerima kuasa wajib memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang telah dilakukan sertamemberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya,
sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada pemberi kuasa.

Pasal 1803
Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya
dalam melaksanakan kuasanya:
1. bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
2. bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang
dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiadianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lasebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala
hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh
penerima kuasa sebagai penggantinya.
Pasal 1804
Bila dalam satu akta diangkat beberapa penerima kuasa untuk suatu urusan, maka terhadap
mereka tidak terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung kecuali jika hal itu ditentukan
dengan tegas dalam akta.

Pasal 1805
Penerima kuasa harus membayar bunga atau uang pokok yang dipakainya untuk keperluannyasendiri terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus
diserahkannya pada penutupan perhitungan terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan
kuasa.

Pasal 1806
Penerima kuasa yang telah memberitahukan secara sah hal kuasanya kepada orang yang
dengannya ia mengadakan suatu persetujuan dalam kedudukan sebagai penerima kuasa, tidak
bertanggung jawab atas apa yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali jika ía secara pribadi
mengikatkan diri untuk itu.

BAGIAN 3
Kewajiban-kewajiban Pemberi Kuasa

Pasal 1807
Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut
kekuasaan yang telah ía berikan kepadanya.
Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu kecuali jika ía telah
menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.

Pasal 1808
Pemberi kuasa wajib mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima
kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah
diadakan perjanjian. Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian, maka pemberi kuasa
tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban mengembalikan persekot dan biaya serta
membayar upah tersebut di atas, sekalipun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya itu.

Pasal 1809
Begitu pula pemberi kuasa harus memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-
kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya asal dalam hal itu penerima kuasa
tidak bertindak kurang hati-hati.

Pasal 1810
Pemberi kuasa harus membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima
kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot itu.
Pasal 1811
Jika seorang penerima kuasa diangkat oleh berbagai orang untuk menyelenggarakan suatu
urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama, maka masing-masing dari mereka
bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari
pemberian kuasa itu.

Pasal 1812
Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya
hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.

BAGIAN 4
Bermacam-macam Cara Berakhirnya Pemberian Kuasa

Pasal 1813
Pemberian kuasa berakhir:
dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima
kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.

Pasal 1814
Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat
memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.

Pasal 1815
Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa tidak dapat diajukan kepada
pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak
mengetahui penarikan kuasa itu1 hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dan pemberi kuasa
terhadap penerima kuasa.

Pasal 1816
Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama,
menyebabkan ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang pertama, terhitung mulai hari
diberitahukannya pengangkatan itu kepada orang yang disebut belakangan.

Pasal 1817
Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian
kepada pemberi kuasa.
Akan tetapi bila pemberitahuan penghentian ini, baik karena Ia tidak mengindahkan waktu
maupun karena sesuatu hal lain akibat kesalahan pemegang kuasa sendiri, membawa kerugian
bagi pemberi kuasa, maka pemberi kuasa ini harus diberikan ganti rugi oleh pemegang kuasa
itu kecuali bila pemegang kuasa itu tak mampu untuk meneruskan kuasanya tanpa
mendatangkan kerugian yang berarti bagi dirinya sendiri.

Pasal 1818
Jika pemegang kuasa tidak tahu tentang meninggalnya pemberi kuasa atau tentang suatu sebab
lain yang menyebabkan berakhirnya kuasa itu, maka perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
tidak tahu itu adalah sah.
Dalam hal demikian, segala perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga
yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.

Pasal 1819
Bila pemegang kuasa meninggal dunia, maka para ahli warisnya harus memberitahukan hal itu
kepada pemberi kuasa jika mereka tahu pemberian kuasa itu, dan sementara itu mengambil
tindakan-tindakan yang perlu menurut keadaan bagi kepentingan pemberi kuasa, dengan
ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.















BAB III
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Menurut Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Dengan demikian surat kuasa adalah suatu alat yang kini mepermudakan seseorang untuk melakukan urusan dalam bidang hukum untuk mengurus kepentingannya lewat orang kedua yang membantu dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.
4.2  saran
Berhubungan dengan trennya surat kuasa pada masa kini dikalangan masyarakat maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
a.       adanya seminar dikalangan pemerintahan desa mengenai batas-batas dan berfungsi suatu surat kuasa di dalam hukum
b.      menerjunkan mahasiswa dalam bidang hukum kedalam lapisan masyarakat untuk memberi pengertian lebih lanjut dalam membuat surat kuasa dan memberikan kuasa kepada si kuasa, guna untuk menghindari penipuan yang berkedok surat kuasa



















Daftar pustaka
.(Sofie Widyana P.)--- hukumacaraperdata.com
Harahap yahya, hukum acara perdata kewenangan surat kuasa, sinar grafika, jakarta,2015



[1] Harahap yahya, hukum acara perdata kewenangan surat kuasa, sinar grafika, jakarta,2015
.(Sofie Widyana P.)--- hukumacaraperdata.com

[2] Harahap yahya, hukum acara perdata kewenangan surat kuasa, sinar grafika, jakarta,2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian produksi dalam Islam

A.      P engertian Produksi Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi,dalam kegiatan ekonomi tidak akan pernah ada kegiatan kon...