Rabu, 08 November 2017

sosiologi hukum (hukum dan perilaku masyarakat)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah segala bentuk peraturan yang pasti ada dan akan selalu ada, sselama masih ada kehidupan di masyarakat, dan selama masih terjadi hubungan dan antar manusia baik dalam lingkup desa sampai yang cangkupannya luas yaitu negara bahkan mencangkup hubungan Internasional.
Tak terkecuali di negara Indonesia, negara yang terkenal dengan pembuatan Undang-undangnya, hukum di Indonesia pun beragam, hukum di Indonesia hampir setiap aspek dalam kehidupan sudah terdapat peraturan undang-undang yang berisi aturan beserta sanksi bagi yang melanggar.
 Di dalam makalah kali ini akan dibahas mengenai bagaimana hukum berperan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil pemakalah adalah sebagai berikut:
1.      Apa Definisi Hukum.?
2.      Bagaimana Hukum bisa dikatakan sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat.?
3.      Bagaimana Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum.?
4.      Bagaimana Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat.?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang dapat diambil pemakalah adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Istilah Hukum.
2.      Untuk mengetahui bagaimana Hukum bisa dikatakan sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat.
3.      Untuk mengetahui bagaimana Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum.
4.      Untuk mengetahui bagaimana Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat.

















BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum
1. Hukum
kata hukum berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selannjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.[1]
2. Recht
Recht berasal dari kata “Rectum” (bahasa latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan, atau pemerintahan.
Berhubungan dengan Rectum dikenal dengan kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Rex juga dapat diartikan “Raja” yang mempunyai “Regimen” yang artinya kerajaan.
Kata Rectum dapat juga berhubungan dengan kata “Directum” yang artinya orang yang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Kata-kata Directur atau Rector mempunyai arti yang sama.
Kata “Recht” atau bimbingan atau Pemerintah selalu didukung oleh kewibawaan. Seorang yang membimbing, memerintah harus mmepunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan, sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian kata Recht mengandung pengertian kewibawaan dan hukum atau Recht itu ditaati orang yang sukarela.
Dari kata Recht tersebut timbul juga istilah “Gerechtigdheid” ini adalah bahasa Belanda atau “gerechtigkeit” dalam bahasa Jerman yang berarti keadilan, sehingga hukum juga mempunyai hubungan erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian Recht dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsure penting yaitu “kewibawaan dan keadilan”.
3. Ius
Kata Ius (Latin) berarti hukum, berasal dari kata “Lubere” artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur dan memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada kewibawaan.
Selanjutnya istilah Ius bertalian erat dengan “Iustitia” atau keadilan. Pada zaman dulu bagi orang Yunani Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya tertutup dengan tangan kirnya memegang neraca dan tangan kanannya memegang sebuah pedang. Adapun lambing tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
a.       Kedua mata tertutup. Ini berarti bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan antara si pelaku. Apakah ia kaya,miskin, mempu[2]nyai kedudukan tinggi atau rendah. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh pandang bulu.
b.      Neraca. Ini melambangkan keadilan. Dalam mencari dan menerapkan keadilan harus ada kesamaan atau sama beratnya.
c.       Pedang. Yaitu lambing dari keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum dan dimana perlu dengan hukum mati.
Jadi dari segi Etimologi dapat disimpulkan bahwa Ius yang berarti hukum berhubungan erat dengan keadilan (Iustitia) yang mempunyai tiga unsur : wibawa, keadilan, dan tata kedamaian.
4. Lex
Kata Lex berasal dari bahasa latin dan berasal dari kata “Lesere”. Yang artinya mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Jadi disini terkandung pula adanya hukum ialah wibawa atau otoritas, sehingga Lex yang berarti hukum sangat erat hubungannya dengan perintah dan wibawa. Berdasarkan uraian diatas dan sehubunnngan denga arti kata hukum maka dapat disimpulkan bahwa:
a)      Pengertian hukum itu bertalian erat dengan keadilan.
b)      Pengertian hukum itu bertalian dengan kewibawaan.
c)      Pengertian hukum itu bertalian erat dengan ketaatan/ orde yang selanjutnya amenimbulkan kedamaian.
d)     Pengertian hukum itu bertalian erat dengan peraturan dalam arti Peraturan yang berisi norma.[3]

B. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat
Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan sudahditerapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan muncul apabila ada factor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Factor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (justiciabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Factor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena merupakank suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur keperikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.
Suatu contoh dari uraian diatas adalah, misalnya perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum tadi harus di sebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat- alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya, inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsure-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Proses difusi tersebut, antara lain dapat dipengaruhi oleh:
a.       Pengakuan, bahwa unsure kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum) mempunyai kegunaan.
b.      Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan pengaruh negatif ataupun positif.
c.       Sebagai suatu unsure yang baru maka hukum tadi mungkin akan[4] ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsure lama.
d.      Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan masyarakat.
Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah perikelakuan. Dengan kata lain, masalah yang bersangkut-paut dengan tata cara komunikasi itulahh yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Untuk dapat mengidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan perihal struktur penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk mengadakan social engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan perikelakuan, dan sebagainya.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita, sebaliknya kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu pula. inilah yang kesemuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan berkelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan kelompok-kelompok sosial.[5]
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis, dan sosial. Di dalam suatu masyarakat dimana interaksi sosial menjadi intinya, maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Misalnya, apabila seorang petani sangat memerlukan kredit untuk usaha taninya, sedangkan di dalam lingkungannya hanya ada kreditu-kreditur yang menetapkan bunga yang sangat tinggi, maka pilihannya hanya terbatas antara pinjaman uang dengan bunga yang tinggi dann meneruskan usaha taninya, atau berhenti bertani. Akan tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Kecuali daripada itu, maka peranannya juga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikank reaksi terhadap peranannya, maupun kemampuan-kemampuan serta kepribadian manusia pribadi yang berperan (role-performance).[6]
Apbila uraian tersebut di telaah dengan seksama, maka kaidah merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan. Individu-individu yang memilih melakukan hal itu, dikarenakan dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Hal itulah yang akan menhubungkan individu tersebut dengan dunia dan  masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang menentukank pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau tidak harus dilakukan) maupun anggapan-anggapan tentang tentang apa yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normatife yang terdapat dalam diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi yang ada di dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melalui perubahan-perubahan yang terencana.
Yang dimaksud dengan peranan adalah suatus sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perikelakuan, pada kedudukank-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana yang dipunyai pribadi maupun kelompok-kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan dinamakan sebagai pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah hukum. Konsepsi-konsepsi sosiologi tersebut di atas, mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hukum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Peranan peran adalah subyek hukum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.[7]
Dengan demikian, maka masalah utamanya adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum akan dapat mengatur kepentingan pemegang-pemegang peranan tersebut.
Tentang hal tersebut, Hans Kelsen pernah mengemukakan sebagai berikut:
”… the legal norm does not, like the moral norm, refer to the behavior of one individuals at least, the individual who commits or may commit the delict, the delinquent, and the individual who ought to execute the sanction.”
Artinya, suatu kaidah hukum yang berisikan larangan atau suuhan atau kebolehan bagi subyek hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum bagi penegak hukum untuk melakukank tindakan terhadap pelanggar-pelanggarnya. Kaidah hukum yang pertama disebutknya adalah kaidah hukum sekunder, sedangkan yang kedua kaidah hukum primer. Kaidah hukum sekunder hanya merupakan gejala lanjutan dari kaidah hukum primer. Model ini sedikit banyak menunjukkan bagaimana kaidah hukum mempengaruhi perikelakuan. Hal ini disebabkan, karena pemegang peranan menentukan pilihan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum dan penegak-penegak hukum merupakan salah satu batas untuk melakukan pilihan tersebut. Proses tadi berjalan dengan cara:
a.       Penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan.
b.      Perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukank tindakan-tindakan positif atau negative, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum.
Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan dapat dilakukan dengan cara-cara:
a.       Melakukan imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun melanggar kaidah-kaidah hukum.
b.      Merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan serasi atau tidaknya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah-kaidah hukum.
c.       Mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuank pemegang peranan yang mengadakan interaksi.
d.      Mengusahakan perubahan para persepsi, sikap dan nilai-nilai pemegang peranan.
Dengan model tersebut, setidaknya dapat diidentifikasikan maslah-masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya sistem kaidah-kaidah hukum tertentu di dalam mengubah atau mengatur petunjuk-petunjuk, di manakalah kelemahan-kelmahan penerapan hukum itu ada. Misalnya, mengapa suatu perundang-undangan lalu lintas darat todak begitu efektif di dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mungkin masalahnya terletak pada perundang-undangan lalu lintas darat tersebut tidak begitu efektif di dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mugkin masalahnya terletak pada perundang-undangannya sendiri yang terlalu abstrak atau terlalu rumit, atau juga mungkin pada para penegak hukum, atau warga masyarakat sendiri, dan mungkin pada fasilitas pendukungnya.
Oleh karena itu, membentuk hukum yang efektif memang memerlukan waktu yang lama. Hal itu disebabkan, antara lain karena daya cangkupnya yang sedemikian luas, lagi pula hukum itu harus dapat menjangkau jauh ke muka, sehingga memerlukan pendekatan yang multi disipliner. Bahkan kadang-kadang, suatu hukum perlu dicoba terlebih dahulu, karena justru melalui percobaan tadi akan dapat diketahui kelemahan-kelemanan dan batas-batas jangkaunya di dalam mengubah atau mengatur perikelakuan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproes di dalam dan untuk kepentingan masyarakata. Oleh karena itu, hanya warga masyarakat yang dapat menentukan luas daya cangkup hukum maupun batas kegunaannya.

C.  Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum
Bila membicarakan perubahan dalam masyarakat dan pencapaian tujuan hukum, berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam, masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam pencapaian tujuannya. Oleh karena itu, objek pembahasan berfokus An Engineering  Interpretation atau interpretasi terhadap adanya perubahan norma hukum sehingga fungsi hukum sebagai social control dan social engineering dapat terwujud.
1. Konsep Dasar an Engineering Interpretation
a. Interpretation
interpretation adalah usaha untuk menggali, menemukan, dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu sendiri, yaitu “keadilan.
Bila melakukan suatu pendekatan dalam mengamati fenomena sosial dalam masyarakat, yang kemudian hasill pengamatan itu digunakan untuk memecahkan hukum yang meliputi penggalian, penyusunan, pemeliharaan, dan penegakkan hukum), maka dapat disebut tercapai tujuan interpretasi.[8]
b. Engineering
Engineering adalah perubahan-perubahan norma dan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat seiring dengan terjadinya perubahan (perkembangan) kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
c. An Engineering Interpretation
Dalam pemikiran yang dijadikan tolak ukur untuk memberi pengertian an engineering interpretation of Legal History yang disusun oleh Roscoe Pound. Pengertian dimaksud adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh kalangan pemikir hukum untuk menemukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, untuk selanjutnya nilai-nilai dimaksud diadaptasikan oleh para legislator dan praktisi hukum dalam menyelesaikan dan mengambil kebijakan terhadap konflik yang tejadi di tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada tercapainya cita-cita dan tujuan hukum itu sendiri.

D. Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat
Apabila ditinjau dari sudut fungsinya, maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengadakan pebaharuan dan juga sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction). Mana yang lebih utama senantiasa tergantung pada bidang kehidupan yang dipermasalahkan, sehingga seringkali ketiga fungsi tersebut berkaitan erat.
Dalam fungsinya tersebut, maka hukum diharapkan akan dapat menciptakan harapan timbal -balik yang serasi (shared reciprocal expectation) anatara warga-warga masyarakat dan juga dengan norma-norma yang mengaturnya. Implikasinya adalah suatu keserasian dalam hubungan antara “role occupant”,  role expectation”, dan “role performance” di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Apabila perhatian ditujukan pada fungsi hukum untuk memperlancar proses interaksi sosial, maka hal itu berkaitan erat dengan masalah apakah orientasi pembentukan hukum tertuju pada pribadi (person orientation). Perbedaan tersebut mungkin bersifat akademis, akan tetapi akan dapat mempermudah usaha untuk mengadakan analisis terhadap masalah pembudayaan hukum dalam masyarakat. Pada hukum yang diletakkan pada pribadi, akan timbul masalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana sikap dan perikelakuan seseorang. ?
b.      Apakah kemampuan-kemapuannya dan dimanakah batas-batas kemampuan-kemapuan tersebut. ?
c.       Bagaimanakah pandangan hidupnya dan pandangannya tentang pola-pola interaksi sosial.?[9]
Pada pembentukan hukum, orientasinya tertuju pada perbuatan, maka fokus utamanya adalah apakah yang terjadi di dalam kenyataannya. Untuk lebih menyederhanakan masalah, maka hal tersebut diatas sebaiknya dihubungkan dengan pola-pola interaksi sosial di masyarakat, yang menurut Arnold M. Rose dapat di golongkan ke dalam:
1.      Pola “tradisional integrated group” yang terjadi apabila warga-warga masyarakat berperikelakuan terhadap warga-warga lainnya atas dasar kaidah-kaidah dan nilai-nilai sama sebagaimana diajarkan oleh warga-warga masyarat.
2.      Pola “audience”, yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian-pengertian sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
3.      Pola “crowd” yakni interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan keadaan-keadaan fisiologis yang sama.
Hukum akan memperlancar proses interaksi pada masyarakat dengan pola “traditional integrated group”, apabila hukum yang berlaku bukan merupakan hal yang baru, akan tetapi sudah merupakan unsure yang melembaga dalam masyarakat. Kalau diintrodusir suatu struktur atau sistem hukum yang baru, kalau biasanya masyararkat mempunyai pola interaksi “audience” atau “public”. Oleh karena itu, sangatlah penting kedudukan dari para plopor kebudayaan hukum maupun cara-cara dan alat-alat komunikasi yang dipergunakan. Keadaan akan bertambah sulit apabila hukum baru yang diintrodusir dimaksudkan untuk mengubah nilai-nilai yang berlaku, oleh karena pada dasarnya semua pola interaksi dapat dikembalikan pada pola “trasditional integrated group” sekalipun dalam masyarakat pramodern maupun modern.
Warga masyarakat pada umumnya cenderung untuk bertingkah laku menurut suatu keranka atau pola perikelakuan yang sudah membudaya, dan di dalam konteks ini mungkin timbul perikelakuan yang dikualifisir sebagai perbuatan yang melanggar[10] hukum. Biasanya warga masyarakat berperikelakuan menurut sistem normatif yang diplajarinya di dalam kerangka sosial dan budaya. oleh karena bukan kualitas perikelakuan yang dinilai akan tetapi perbutan-perbuatan yang berlawanan dengan perikelakuan tersebut yang dianggap melanggar hukum, maka apa yang dirumuskan sebagai perbuatan melanggar hukum adalah relatif. Konsekuensinya adalah bahwa warga-warga masyarakat yang tidak ikut serta merumuskan perbuatan-perbuatan melanggar hukum, pola perikelakuannya lebih mudah untuk di kualifisir sebagai perbuatan melanggar hukum. Apabila pola-pola aksi tersebut bersifat melanggar hukum atau tidak, antara lain tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
a.       Struktur kesempatan di dalam masyarakat
b.      Pengalaman belajar
c.       Identifikasi tehadap pihak-pihak lain
d.      Konsepsi diri.
Munculnya kesadaran hukum di dorong sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, yang didasari oleh (introtrination, habituation, utility dan group identification. Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum.
Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa terdapat empat indicator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan brikutnya, yaitu:
a)      Pengetahuan hukum
b)      Sikap hukum
c)      Pola prilaku hukum
Adapun indikator yang mempengaruhi penegakkan hukum, yaitu sebagai berikut:
a)      Faktor hukumnya sendiri (UU)
b)      Faktor penegak hukum
c)      Faktor sarana/ fasilitas
d)     Faktor kesadaran hukum masyarakat
e)      Faktor kebudayaan.[11]

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Selama perubahan hukum dilakukan secara resfonsif dan mengikuti irama hukum yang hidup di dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal tersebut dilakukan maka hukum seperti benda asing.
Perubahan dalam diri hukum ini, sesungguhnya berfungsi menejembatani keinginan-keinginan manusia yang agar tidak timbul perilaku yang anarkis, destruktif, dan sebagainya yang sangat melelahkan masyarakat kita, terutama masyarakat kelas bawah atau grass root. Apa yang kita inginkan dari suatu perubahan adalah pemulihan pada keadaan yang lebih baik dan bukan sebaliknya. Secara natural pula maka perubahan yang kita inginkan bukan pada hasil yang secepatnya, seperti membalik telapak tangan. Perubahan yang terjadi pada hukum adalah persoalan kemasyarakatan, persoalan sosiologis, yang tidak dapat steril dari kekuasaan politik, keinginan pribadi, faktor ekonomi dan sebagainya.
Untuk mencapaiak  tujuan mulia si atas, maka hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial, yang sekaligus merupakan tujuan pembentukan hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini, maka aspek ketertiban, ketentraman, maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.[12]






Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 1, Cet. 15. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991).
Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama).
















[1] R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 1, Cet. 15. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 25.
[3] Ibid, Hlm. 26.
[4] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 136.
[5] Ibid, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Ibid, hlm. 139.
[8] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hlm. 41.
[9] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 136.
[10] Ibid, hlm. 137.
[11] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 106.
[12] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian produksi dalam Islam

A.      P engertian Produksi Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi,dalam kegiatan ekonomi tidak akan pernah ada kegiatan kon...