BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah segala bentuk peraturan
yang pasti ada dan akan selalu ada, sselama masih ada kehidupan di masyarakat,
dan selama masih terjadi hubungan dan antar manusia baik dalam lingkup desa
sampai yang cangkupannya luas yaitu negara bahkan mencangkup hubungan
Internasional.
Tak terkecuali di negara Indonesia,
negara yang terkenal dengan pembuatan Undang-undangnya, hukum di Indonesia pun
beragam, hukum di Indonesia hampir setiap aspek dalam kehidupan sudah terdapat
peraturan undang-undang yang berisi aturan beserta sanksi bagi yang melanggar.
Di dalam makalah kali ini akan dibahas
mengenai bagaimana hukum berperan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah
perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka
rumusan masalah yang dapat diambil pemakalah adalah sebagai berikut:
1.
Apa Definisi
Hukum.?
2.
Bagaimana
Hukum bisa dikatakan sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat.?
3.
Bagaimana
Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum.?
4.
Bagaimana
Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat.?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka
tujuan yang dapat diambil pemakalah adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui Istilah Hukum.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana Hukum bisa dikatakan sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan
Masyarakat.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana Perubahan Dalam Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana Pembudayaan Hukum dalam Masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum
1. Hukum
kata hukum berasal dari bahasa arab
dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selannjutnya
diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung
pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.[1]
2. Recht
Recht berasal dari kata “Rectum” (bahasa
latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan, atau pemerintahan.
Berhubungan dengan Rectum dikenal
dengan kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan
atau memerintah. Rex juga dapat diartikan “Raja” yang mempunyai “Regimen”
yang artinya kerajaan.
Kata Rectum dapat juga
berhubungan dengan kata “Directum” yang artinya orang yang mempunyai
pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Kata-kata Directur atau Rector mempunyai
arti yang sama.
Kata “Recht” atau bimbingan
atau Pemerintah selalu didukung oleh kewibawaan. Seorang yang membimbing,
memerintah harus mmepunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat
dengan ketaatan, sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh
orang lain. Dengan demikian kata Recht mengandung pengertian kewibawaan
dan hukum atau Recht itu ditaati orang yang sukarela.
Dari kata Recht tersebut timbul juga
istilah “Gerechtigdheid” ini adalah bahasa Belanda atau “gerechtigkeit”
dalam bahasa Jerman yang berarti keadilan, sehingga hukum juga mempunyai
hubungan erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian Recht dapat diartikan hukum
yang mempunyai dua unsure penting yaitu “kewibawaan dan keadilan”.
3. Ius
Kata Ius (Latin) berarti hukum,
berasal dari kata “Lubere” artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur
dan memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada kewibawaan.
Selanjutnya istilah Ius bertalian
erat dengan “Iustitia” atau keadilan. Pada zaman dulu bagi orang Yunani
Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan
kedua matanya tertutup dengan tangan kirnya memegang neraca dan tangan kanannya
memegang sebuah pedang. Adapun lambing tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
a.
Kedua
mata tertutup. Ini berarti
bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan antara si pelaku. Apakah
ia kaya,miskin, mempu[2]nyai
kedudukan tinggi atau rendah. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa di dalam
mencari keadilan tidak boleh pandang bulu.
b.
Neraca. Ini melambangkan keadilan. Dalam mencari dan menerapkan keadilan
harus ada kesamaan atau sama beratnya.
c.
Pedang. Yaitu lambing dari keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu
hukum dan dimana perlu dengan hukum mati.
Jadi dari segi Etimologi dapat
disimpulkan bahwa Ius yang berarti hukum berhubungan erat dengan keadilan
(Iustitia) yang mempunyai tiga unsur : wibawa, keadilan, dan tata kedamaian.
4. Lex
Kata Lex berasal dari bahasa latin
dan berasal dari kata “Lesere”. Yang artinya mengumpulkan orang-orang
untuk diberi perintah. Jadi disini terkandung pula adanya hukum ialah wibawa
atau otoritas, sehingga Lex yang berarti hukum sangat erat hubungannya
dengan perintah dan wibawa. Berdasarkan uraian diatas dan sehubunnngan denga
arti kata hukum maka dapat disimpulkan bahwa:
a)
Pengertian
hukum itu bertalian erat dengan keadilan.
b)
Pengertian
hukum itu bertalian dengan kewibawaan.
c)
Pengertian
hukum itu bertalian erat dengan ketaatan/ orde yang selanjutnya amenimbulkan
kedamaian.
d)
Pengertian
hukum itu bertalian erat dengan peraturan dalam arti Peraturan yang berisi
norma.[3]
B. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Masyarakat
Sebagai sarana social engineering,
hukum merupakan sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga
masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah
satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang
dinamakan sudahditerapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu
akan muncul apabila ada factor-faktor tertentu yang menjadi halangan.
Factor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para
pencari keadilan (justiciabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam
masyarakat. Factor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena
merupakank suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang
dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Kalau hukum merupakan sarana yang
dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya
berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang
mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di
dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur
keperikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian
tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk
dipergunakan.
Suatu contoh dari uraian diatas
adalah, misalnya perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hukum
benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum tadi
harus di sebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya
alat- alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran
serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara
formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi.
Disamping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya, inilah
yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dinamakan
difusi, yaitu penyebaran dari unsure-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Proses difusi tersebut, antara lain
dapat dipengaruhi oleh:
a.
Pengakuan,
bahwa unsure kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum) mempunyai
kegunaan.
b.
Ada
tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan
pengaruh negatif ataupun positif.
c.
Sebagai
suatu unsure yang baru maka hukum tadi mungkin akan[4]
ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsure lama.
d.
Kedudukan
dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektivitas
hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan masyarakat.
Inilah yang merupakan salah satu
batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah
perikelakuan. Dengan kata lain, masalah yang bersangkut-paut dengan tata cara
komunikasi itulahh yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Untuk dapat
mengidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan hukum
sebagai sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan perihal struktur
penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk mengadakan social
engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan perikelakuan, dan
sebagainya.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa
masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam
kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa
yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan,
dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui
batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita, sebaliknya kalau dia tetap
berada di dalam batas-batas tertentu pula. inilah yang kesemuanya terkait pada
kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan berkelompok.
Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan
pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan
kelompok-kelompok sosial.[5]
Apakah yang akan dipilih oleh
pribadi-pribadi atau kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis,
dan sosial. Di dalam suatu masyarakat dimana interaksi sosial menjadi intinya,
maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang
sangat menentukan. Misalnya, apabila seorang petani sangat memerlukan kredit
untuk usaha taninya, sedangkan di dalam lingkungannya hanya ada kreditu-kreditur
yang menetapkan bunga yang sangat tinggi, maka pilihannya hanya terbatas antara
pinjaman uang dengan bunga yang tinggi dann meneruskan usaha taninya, atau
berhenti bertani. Akan tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada
kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama, secara
berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi
tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada
posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Kecuali daripada itu,
maka peranannya juga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak
lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga oleh
pihak-pihak yang mengawasi dan memberikank reaksi terhadap peranannya, maupun
kemampuan-kemampuan serta kepribadian manusia pribadi yang berperan (role-performance).[6]
Apbila uraian tersebut di telaah
dengan seksama, maka kaidah merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana
yang diharapkan. Individu-individu yang memilih melakukan hal itu, dikarenakan
dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak
lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Hal
itulah yang akan menhubungkan individu tersebut dengan dunia dan masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan
mengapa seseorang menentukank pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula
dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau
tidak harus dilakukan) maupun anggapan-anggapan tentang tentang apa yang harus
dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normatife yang
terdapat dalam diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi yang ada
di dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melalui
perubahan-perubahan yang terencana.
Yang dimaksud dengan peranan adalah
suatus sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perikelakuan, pada
kedudukank-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana yang dipunyai
pribadi maupun kelompok-kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan dinamakan
sebagai pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah
berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan
apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah hukum. Konsepsi-konsepsi sosiologi tersebut
di atas, mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hukum, apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa hukum. Peranan peran adalah subyek hukum, sedangkan peranan
merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan
hukum.[7]
Dengan demikian, maka masalah
utamanya adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum akan dapat mengatur kepentingan
pemegang-pemegang peranan tersebut.
Tentang hal tersebut, Hans Kelsen
pernah mengemukakan sebagai berikut:
”… the legal norm does not, like the
moral norm, refer to the behavior of one individuals at least, the individual
who commits or may commit the delict, the delinquent, and the individual who
ought to execute the sanction.”
Artinya, suatu kaidah hukum yang
berisikan larangan atau suuhan atau kebolehan bagi subyek hukum, sekaligus
merupakan kaidah hukum bagi penegak hukum untuk melakukank tindakan terhadap
pelanggar-pelanggarnya. Kaidah hukum yang pertama disebutknya adalah kaidah
hukum sekunder, sedangkan yang kedua kaidah hukum primer. Kaidah hukum sekunder
hanya merupakan gejala lanjutan dari kaidah hukum primer. Model ini sedikit
banyak menunjukkan bagaimana kaidah hukum mempengaruhi perikelakuan. Hal ini
disebabkan, karena pemegang peranan menentukan pilihan terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum
dan penegak-penegak hukum merupakan salah satu batas untuk melakukan pilihan
tersebut. Proses tadi berjalan dengan cara:
a.
Penetapan
kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan.
b.
Perumusan
tugas-tugas penegak hukum untuk melakukank tindakan-tindakan positif atau
negative, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah hukum.
Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan
untuk mengubah dan mengatur perikelakuan dapat dilakukan dengan cara-cara:
a.
Melakukan
imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun
melanggar kaidah-kaidah hukum.
b.
Merumuskan
tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai
dengan serasi atau tidaknya perikelakuan pemegang peranan dengan kaidah-kaidah
hukum.
c.
Mengubah
perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuank pemegang
peranan yang mengadakan interaksi.
d.
Mengusahakan
perubahan para persepsi, sikap dan nilai-nilai pemegang peranan.
Dengan model tersebut, setidaknya
dapat diidentifikasikan maslah-masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya
sistem kaidah-kaidah hukum tertentu di dalam mengubah atau mengatur
petunjuk-petunjuk, di manakalah kelemahan-kelmahan penerapan hukum itu ada.
Misalnya, mengapa suatu perundang-undangan lalu lintas darat todak begitu
efektif di dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mungkin masalahnya
terletak pada perundang-undangan lalu lintas darat tersebut tidak begitu
efektif di dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mugkin masalahnya
terletak pada perundang-undangannya sendiri yang terlalu abstrak atau terlalu
rumit, atau juga mungkin pada para penegak hukum, atau warga masyarakat
sendiri, dan mungkin pada fasilitas pendukungnya.
Oleh karena itu, membentuk hukum
yang efektif memang memerlukan waktu yang lama. Hal itu disebabkan, antara lain
karena daya cangkupnya yang sedemikian luas, lagi pula hukum itu harus dapat
menjangkau jauh ke muka, sehingga memerlukan pendekatan yang multi disipliner.
Bahkan kadang-kadang, suatu hukum perlu dicoba terlebih dahulu, karena justru
melalui percobaan tadi akan dapat diketahui kelemahan-kelemanan dan batas-batas
jangkaunya di dalam mengubah atau mengatur perikelakuan masyarakat. Hukum
merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproes di dalam dan untuk
kepentingan masyarakata. Oleh karena itu, hanya warga masyarakat yang dapat
menentukan luas daya cangkup hukum maupun batas kegunaannya.
C. Perubahan Dalam
Masyarakat Dan Pencapaian Tujuan Hukum
Bila membicarakan perubahan dalam
masyarakat dan pencapaian tujuan hukum, berarti mengkaji perubahan kehidupan
sosial dalam, masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum
dalam pencapaian tujuannya. Oleh karena itu, objek pembahasan berfokus An
Engineering Interpretation atau
interpretasi terhadap adanya perubahan norma hukum sehingga fungsi hukum
sebagai social control dan social engineering dapat terwujud.
1. Konsep Dasar an Engineering
Interpretation
a. Interpretation
interpretation adalah usaha untuk
menggali, menemukan, dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan
dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu
sendiri, yaitu “keadilan.
Bila melakukan suatu pendekatan
dalam mengamati fenomena sosial dalam masyarakat, yang kemudian hasill
pengamatan itu digunakan untuk memecahkan hukum yang meliputi penggalian,
penyusunan, pemeliharaan, dan penegakkan hukum), maka dapat disebut tercapai
tujuan interpretasi.[8]
b. Engineering
Engineering adalah
perubahan-perubahan norma dan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat seiring
dengan terjadinya perubahan (perkembangan) kebudayaan dalam masyarakat itu
sendiri.
c. An Engineering Interpretation
Dalam pemikiran yang dijadikan tolak
ukur untuk memberi pengertian an engineering interpretation of Legal History
yang disusun oleh Roscoe Pound. Pengertian dimaksud adalah usaha-usaha yang
dilakukan oleh kalangan pemikir hukum untuk menemukan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, untuk selanjutnya nilai-nilai
dimaksud diadaptasikan oleh para legislator dan praktisi hukum dalam
menyelesaikan dan mengambil kebijakan terhadap konflik yang tejadi di
tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada tercapainya cita-cita dan tujuan
hukum itu sendiri.
D. Pembudayaan
Hukum dalam Masyarakat
Apabila ditinjau dari sudut
fungsinya, maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial,
sarana untuk mengadakan pebaharuan dan juga sebagai sarana untuk memperlancar
proses interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction).
Mana yang lebih utama senantiasa tergantung pada bidang kehidupan yang
dipermasalahkan, sehingga seringkali ketiga fungsi tersebut berkaitan erat.
Dalam fungsinya tersebut, maka hukum
diharapkan akan dapat menciptakan harapan timbal -balik yang serasi (shared
reciprocal expectation) anatara warga-warga masyarakat dan juga dengan
norma-norma yang mengaturnya. Implikasinya adalah suatu keserasian dalam
hubungan antara “role occupant”,
“role expectation”, dan “role performance” di dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Apabila perhatian ditujukan pada
fungsi hukum untuk memperlancar proses interaksi sosial, maka hal itu berkaitan
erat dengan masalah apakah orientasi pembentukan hukum tertuju pada pribadi (person
orientation). Perbedaan tersebut mungkin bersifat akademis, akan tetapi
akan dapat mempermudah usaha untuk mengadakan analisis terhadap masalah
pembudayaan hukum dalam masyarakat. Pada hukum yang diletakkan pada pribadi,
akan timbul masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana
sikap dan perikelakuan seseorang. ?
b.
Apakah
kemampuan-kemapuannya dan dimanakah batas-batas kemampuan-kemapuan tersebut. ?
c.
Bagaimanakah
pandangan hidupnya dan pandangannya tentang pola-pola interaksi sosial.?[9]
Pada pembentukan hukum, orientasinya
tertuju pada perbuatan, maka fokus utamanya adalah apakah yang terjadi di dalam
kenyataannya. Untuk lebih menyederhanakan masalah, maka hal tersebut diatas
sebaiknya dihubungkan dengan pola-pola interaksi sosial di masyarakat, yang
menurut Arnold M. Rose dapat di golongkan ke dalam:
1.
Pola
“tradisional integrated group” yang terjadi apabila warga-warga
masyarakat berperikelakuan terhadap warga-warga lainnya atas dasar
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sama sebagaimana diajarkan oleh warga-warga
masyarat.
2.
Pola
“audience”, yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian-pengertian
sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
3.
Pola
“crowd” yakni interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan
keadaan-keadaan fisiologis yang sama.
Hukum akan memperlancar proses
interaksi pada masyarakat dengan pola “traditional integrated group”,
apabila hukum yang berlaku bukan merupakan hal yang baru, akan tetapi sudah
merupakan unsure yang melembaga dalam masyarakat. Kalau diintrodusir suatu struktur
atau sistem hukum yang baru, kalau biasanya masyararkat mempunyai pola
interaksi “audience” atau “public”. Oleh karena itu, sangatlah
penting kedudukan dari para plopor kebudayaan hukum maupun cara-cara dan
alat-alat komunikasi yang dipergunakan. Keadaan akan bertambah sulit apabila
hukum baru yang diintrodusir dimaksudkan untuk mengubah nilai-nilai yang
berlaku, oleh karena pada dasarnya semua pola interaksi dapat dikembalikan pada
pola “trasditional integrated group” sekalipun dalam masyarakat pramodern
maupun modern.
Warga masyarakat pada umumnya
cenderung untuk bertingkah laku menurut suatu keranka atau pola perikelakuan
yang sudah membudaya, dan di dalam konteks ini mungkin timbul perikelakuan yang
dikualifisir sebagai perbuatan yang melanggar[10]
hukum. Biasanya warga masyarakat berperikelakuan menurut sistem normatif yang
diplajarinya di dalam kerangka sosial dan budaya. oleh karena bukan kualitas
perikelakuan yang dinilai akan tetapi perbutan-perbuatan yang berlawanan dengan
perikelakuan tersebut yang dianggap melanggar hukum, maka apa yang dirumuskan
sebagai perbuatan melanggar hukum adalah relatif. Konsekuensinya adalah bahwa
warga-warga masyarakat yang tidak ikut serta merumuskan perbuatan-perbuatan
melanggar hukum, pola perikelakuannya lebih mudah untuk di kualifisir sebagai
perbuatan melanggar hukum. Apabila pola-pola aksi tersebut bersifat melanggar
hukum atau tidak, antara lain tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
a.
Struktur
kesempatan di dalam masyarakat
b.
Pengalaman
belajar
c.
Identifikasi
tehadap pihak-pihak lain
d.
Konsepsi
diri.
Munculnya kesadaran hukum di dorong
sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, yang didasari oleh
(introtrination, habituation, utility dan group identification. Proses itu
terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. kadar internalisasi inilah
yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas
persoalan penegakan hukum.
Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa terdapat empat indicator kesadaran hukum yang
masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan brikutnya, yaitu:
a)
Pengetahuan
hukum
b)
Sikap
hukum
c)
Pola
prilaku hukum
Adapun indikator yang mempengaruhi penegakkan hukum, yaitu sebagai
berikut:
a)
Faktor
hukumnya sendiri (UU)
b)
Faktor
penegak hukum
c)
Faktor
sarana/ fasilitas
d)
Faktor
kesadaran hukum masyarakat
e)
Faktor
kebudayaan.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Selama perubahan hukum dilakukan
secara resfonsif dan mengikuti irama hukum yang hidup di dalam masyarakat, maka
hukum akan selalu selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh
dari masyarakat, dan jika hal tersebut dilakukan maka hukum seperti benda
asing.
Perubahan dalam diri hukum ini,
sesungguhnya berfungsi menejembatani keinginan-keinginan manusia yang agar
tidak timbul perilaku yang anarkis, destruktif, dan sebagainya yang sangat
melelahkan masyarakat kita, terutama masyarakat kelas bawah atau grass root.
Apa yang kita inginkan dari suatu perubahan adalah pemulihan pada keadaan yang
lebih baik dan bukan sebaliknya. Secara natural pula maka perubahan yang kita
inginkan bukan pada hasil yang secepatnya, seperti membalik telapak tangan.
Perubahan yang terjadi pada hukum adalah persoalan kemasyarakatan, persoalan
sosiologis, yang tidak dapat steril dari kekuasaan politik, keinginan pribadi,
faktor ekonomi dan sebagainya.
Untuk mencapaiak tujuan mulia si atas, maka hukum memerankan
dirinya sebagai kendali sosial, yang sekaligus merupakan tujuan pembentukan
hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini, maka aspek ketertiban,
ketentraman, maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.[12]
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu
Hukum, Ed. 1, Cet. 15. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).
Prof.
Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
Prof.
Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan
Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991).
Dr.
Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Refika
Aditama).
[1] R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 1, Cet. 15.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 25.
[3] Ibid, Hlm. 26.
[4]
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 136.
[5] Ibid, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Ibid,
hlm. 139.
[8] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), Hlm. 41.
[9] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi
Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm.
136.
[10] Ibid, hlm. 137.
[11] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 106.
[12] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 27.
[1] R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 1, Cet. 15.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 25.
[3] Ibid, Hlm. 26.
[4]
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 136.
[5] Ibid, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Ibid,
hlm. 139.
[8] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), Hlm. 41.
[9] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Kegunaan Sosiologi
Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm.
136.
[10] Ibid, hlm. 137.
[11] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 106.
[12] Dr. Saifullah, S.H., M.Hum., Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: PT. Refika Aditama), hlm. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar