Hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang
melekat, penuh, dan tidak bisa direnggut dari seorang manusia karena ia
dihargai sebagai manusia. Hak-hak ini dijamin dalam hukum internasional dan
hukum Indonesia sebagai tameng pelindung dari segala bentuk
kesewenang-wenangan—baik kesewenang-wenangan dari otoritas negara maupun
individu, kelompok, atau korporasi. Maka, negara, dengan berbagai aparaturnya,
wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia warga negara.
Namun, dalam konteks pembicaraan HAM pada kasus terorisme saat ini,
HAM tampaknya direferensikan bukan sebagai jaminan perlindungan. Secara sangat
sempit, HAM bahkan dikerdilkan menjadi sebatas soal apakah teroris dapat ditembak
mati atau tidak. HAM yang harusnya dimaknai sebagai perlindungan bagi warga
negara seakan-akan berubah menjadi penghalang dalam pemenuhan perlindungan itu
sendiri.
Pahadal, melekatnya HAM pada manusia bermakna HAM tak bisa
dilepaskan bahkan dalam konteks kasus terorisme. Dalam kasus-kasus terorisme,
hak asasi manusia dibunuh dan gugur berkali-kali. HAM direnggut ketika teroris
mencabut hak hidup korban secara sewenang-wenang. Sama halnya dengan hak hidup
pelaku yang juga tercerabut dalam kondisi ia ditembak mati oleh aparat. Hak
hidup sebagai bagian paling fundamental dari HAM sama-sama dalam posisi
terenggut. Pada akhirnya, baik HAM pelaku, HAM korban, maupun HAM orang lain
(hak atas rasa aman) menjadi hilang.
HAM juga dilanggar ketika rasa aman (keselamatan) publik terganggu.
Hak atas rasa aman adalah bagian dari HAM. Oleh karena itu, upaya untuk
membenturkan keselamatan publik dengan HAM adalah posisi yang ambivalen.
Apabila kita menepis HAM dalam konteks terorisme, maka apa dasar
pemenuhan hak kepada korban? Hak atas remedi berupa kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi merupakan HAM. Wacana pengesampingan HAM dalam kasus terorisme
pada akhirnya dapat mencabut pemenuhan terhadap hak orang yang lain.
Mengesampingkan HAM berarti kita memposisikan negara untuk melawan
terorisme tanpa adanya legitimasi HAM berupa jaminan perlindungan warga negara
akan tetap dihormati. Jadi, apakah benar kita ingin fatalis dan menyingkirkan
HAM dalam kasus terorisme?
Menghargai hak seorang manusia dan menyandingkannya dengan
perlindungan hak orang lain tidaklah sederhana.
Secara global, wacana pengesampingan HAM ini pernah muncul pasca
serangan 9/11 yang mengejutkan. Presiden Amerika Serikat kala itu, George W.
Bush, dalam pernyatannya pada 16 September 2001, menyatakan perang
terhadap teror, Penggunaan istilah ini kemudian menjadi slogan
kampanye dan program militer secara global untuk memberantas terorisme dengan
pendekatan perang.
Presiden George W. Bush pada saat itu kemudian membingkai kampanye
dengan dikotomi. Ia memposisikan pihak yang tidak setuju dengan pendekatan
perang terhadap teror artinya melawan atau tidak setuju dengan upaya
pemberantasan terorisme.
Padahal posisinya tidak selalu dikotomis seperti itu. Menolak
pendekatan perang dan keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme tidak
sama dengan setuju dengan terorisme. Sebaliknya yang dituntut adalah mekanisme
akuntabilitas terhadap penggunaan kekuasaan negara atas nama publik.
Pendekatan perang yang dilakukan Amerika Serikat ini berujung pada
ditenggarainya praktik
penyiksaan, penangkapan
tidak sah, tindakan
mematai-matai publik secara tidak wajar,
dan hingga jatuhnya
korban yang tidak bersalah.
Penegakan hukum yang efektif
Di Indonesia, terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana, maka respons
terhadap terorisme harus melalui sistem peradilan pidana. Aktor penindaknya
adalah penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. TNI (militer) bukanlah
institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
Kunci bandul keseimbangan antara penegakan hukum yang efektif dengan
perlindungan HAM berada pada mekanisme akuntabilitas penegakan hukum. Perlunya
akuntabilitas dalam penegakan hukum disandarkan pada dua hal mendasar.
Pertama, legitimasi penegakan hukum untuk melindungi publik dari ancaman terorisme
diperoleh dari prinsip-prinsip HAM.
Kedua, institusi yang bertugas mengatasi kejahatan terorisme juga menjalankan
tugas penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Kepolisian, misalnya, tidak
hanya bertugas menangani terorisme tetapi juga tindak pidana pencurian bahkan
sampai pelanggaran lalu lintas.
Apabila HAM disingkirkan, apa legitimasi penegakan hukum kepolisian dan apa
jaminan perlindungan publik dari tindakan sewenang-wenang?
Oleh karena itu, dorongan melindungi HAM dalam kasus terorisme bukan
berarti mencegah agar terorisme ditindak. Urgensi wacana HAM diarusutamakan
dalam pemberantasan terorisme adalah sebagai wujud untuk penikmatan HAM.
Pada akhirnya, jika memang semua salah HAM, sudah sejauh apa memang HAM
dipenuhi di negeri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar