Jumat, 31 Agustus 2018

Perspektif HAM pada Terorisme



Hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang melekat, penuh, dan tidak bisa direnggut dari seorang manusia karena ia dihargai sebagai manusia. Hak-hak ini dijamin dalam hukum internasional dan hukum Indonesia sebagai tameng pelindung dari segala bentuk kesewenang-wenangan—baik kesewenang-wenangan dari otoritas negara maupun individu, kelompok, atau korporasi. Maka, negara, dengan berbagai aparaturnya, wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia warga negara.
Namun, dalam konteks pembicaraan HAM pada kasus terorisme saat ini, HAM tampaknya direferensikan bukan sebagai jaminan perlindungan. Secara sangat sempit, HAM bahkan dikerdilkan menjadi sebatas soal apakah teroris dapat ditembak mati atau tidak. HAM yang harusnya dimaknai sebagai perlindungan bagi warga negara seakan-akan berubah menjadi penghalang dalam pemenuhan perlindungan itu sendiri.
Pahadal, melekatnya HAM pada manusia bermakna HAM tak bisa dilepaskan bahkan dalam konteks kasus terorisme. Dalam kasus-kasus terorisme, hak asasi manusia dibunuh dan gugur berkali-kali. HAM direnggut ketika teroris mencabut hak hidup korban secara sewenang-wenang. Sama halnya dengan hak hidup pelaku yang juga tercerabut dalam kondisi ia ditembak mati oleh aparat. Hak hidup sebagai bagian paling fundamental dari HAM sama-sama dalam posisi terenggut. Pada akhirnya, baik HAM pelaku, HAM korban, maupun HAM orang lain (hak atas rasa aman) menjadi hilang.
HAM juga dilanggar ketika rasa aman (keselamatan) publik terganggu. Hak atas rasa aman adalah bagian dari HAM. Oleh karena itu, upaya untuk membenturkan keselamatan publik dengan HAM adalah posisi yang ambivalen.
Apabila kita menepis HAM dalam konteks terorisme, maka apa dasar pemenuhan hak kepada korban? Hak atas remedi berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi merupakan HAM. Wacana pengesampingan HAM dalam kasus terorisme pada akhirnya dapat mencabut pemenuhan terhadap hak orang yang lain.
Mengesampingkan HAM berarti kita memposisikan negara untuk melawan terorisme tanpa adanya legitimasi HAM berupa jaminan perlindungan warga negara akan tetap dihormati. Jadi, apakah benar kita ingin fatalis dan menyingkirkan HAM dalam kasus terorisme?
Menghargai hak seorang manusia dan menyandingkannya dengan perlindungan hak orang lain tidaklah sederhana.
Secara global, wacana pengesampingan HAM ini pernah muncul pasca serangan 9/11 yang mengejutkan. Presiden Amerika Serikat kala itu, George W. Bush, dalam pernyatannya pada 16 September 2001, menyatakan perang terhadap teror, Penggunaan istilah  ini kemudian menjadi slogan kampanye dan program militer secara global untuk memberantas terorisme dengan pendekatan perang.
Presiden George W. Bush pada saat itu kemudian membingkai kampanye dengan dikotomi. Ia memposisikan pihak yang tidak setuju dengan pendekatan perang terhadap teror artinya melawan atau tidak setuju dengan upaya pemberantasan terorisme.
Padahal posisinya tidak selalu dikotomis seperti itu. Menolak pendekatan perang dan keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme tidak sama dengan setuju dengan terorisme. Sebaliknya yang dituntut adalah mekanisme akuntabilitas terhadap penggunaan kekuasaan negara atas nama publik.
Pendekatan perang yang dilakukan Amerika Serikat ini berujung pada ditenggarainya praktik penyiksaanpenangkapan tidak sahtindakan mematai-matai publik secara tidak wajar, dan hingga jatuhnya korban yang tidak bersalah.
Penegakan hukum yang efektif
Di Indonesia, terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana, maka respons terhadap terorisme harus melalui sistem peradilan pidana. Aktor penindaknya adalah penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. TNI (militer) bukanlah institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
Kunci bandul keseimbangan antara penegakan hukum yang efektif dengan perlindungan HAM berada pada mekanisme akuntabilitas penegakan hukum. Perlunya akuntabilitas dalam penegakan hukum disandarkan pada dua hal mendasar.
Pertama, legitimasi penegakan hukum untuk melindungi publik dari ancaman terorisme diperoleh dari prinsip-prinsip HAM.
Kedua, institusi yang bertugas mengatasi kejahatan terorisme juga menjalankan tugas penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Kepolisian, misalnya, tidak hanya bertugas menangani terorisme tetapi juga tindak pidana pencurian bahkan sampai pelanggaran lalu lintas.
Apabila HAM disingkirkan, apa legitimasi penegakan hukum kepolisian dan apa jaminan perlindungan publik dari tindakan sewenang-wenang?
Oleh karena itu, dorongan melindungi HAM dalam kasus terorisme bukan berarti mencegah agar terorisme ditindak. Urgensi wacana HAM diarusutamakan dalam pemberantasan terorisme adalah sebagai wujud untuk penikmatan HAM.
Pada akhirnya, jika memang semua salah HAM, sudah sejauh apa memang HAM dipenuhi di negeri ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian produksi dalam Islam

A.      P engertian Produksi Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi,dalam kegiatan ekonomi tidak akan pernah ada kegiatan kon...